Anggota angkatan 2003 Filsafat UKIM

Chaky, Ona Aya, Meidy, Kea, Lita, Kaneng, Etalake, Oi’Tiku, Nesy, Lineng, Mersy, Netty, Taro-Domy, Turo-Ebeth, Neng, Ensy, Eci, Choco, Ike, Beben, Tommy, Ika, Zisi, Novi, Aketa, Tata, Acith, Ona Kap, Eva, Ences, Dian, Olive Seke, Denis, Is Latul, Totoy, Gama, Noel, Marino, Odon, Ano, Max, Endik, Rina, Au, Emang, Ema, Eges, D4, Charis’t, Cakhlop’z, Eda, Ati, Kakak Dello, kakak Mis, Tine, Imel, Chey, Itin, Yun, Ane, Eges’L, Wellem, Ein, Erlin, Winter, Vally, Anika (Alm).

BAKUMPUL SUDAH

BAKUMPUL SUDAH
TAPISAH UNTUK PELAYANAN ADALAH SESUATU YANG TERINDAH

Rabu, 29 Juli 2009

SKRIPSI 03 (ERLIN LEKATOMPESSY)


BAB II
DESKRIPSI DAN ANALISA DATA

A. Gambaran Umum
1. Historis Negeri Latuhalat
Jauh sebelum bangsa Portugis, Spanyol dan Belanda menginjakkan kakinya di daerah Maluku khususnya di jasirah Leitimur di Pulau Ambon, telah berada tiga buah negeri besar yang masing-masing diperintah oleh seorang raja yang bergelar kapitan. Ketiga negeri itu adalah Negeri Nusaniwe, Negeri Soya dan Negeri Kilang.
Kekuasaan ketiga raja tidak hanya meliputi daerah-daerah Leitimur melainkan juga meliputi beberapa daerah yang terletak di jasirah Leihitu. Diantara ketika raja ini, raja Nusaniwe memegang peran penting, karena kedudukannya tepat di muka pintu masuk Kota Ambon yaitu gerbang Tanjung Alang dan gerbang Tanjung Nusaniwe.
Negeri Nusaniwe pada waktu itu terdiri dari empat negeri besar dan dua negeri kecil serta tiga daerah Mataaman.
Empat negeri besar :
1. Negeri Soa Papala, dimana Soa adalah tempat berhimpun, Pa; berarti menjadi satu, dan Pala; berarti memberi makan, jadi Soa Papala dapat diartikan sebagai tempat berhimpun atau berkumpul untuk memberikan semangat. Sekarang Soa Papala telah dikenal dengan nama Waimahu, dimana Wai adalah Air dan Mahu berarti perlahan-lahan. Dengan begitu Waimahu dapat diartikan air yang mengalir perlahan-lahan.
2. Negeri Ukuhuri, dimana Uku adalah ujung dan Huri adalah bagian yang agak melingkar. Sehingga Ukuhury dapat diartikan ujung bagian bawah yang agak melingkar.
3. Negeri Seilale, dimana Sei adalah daerah pelabuhan dan Lale berarti dalam atau bagian dalam, jadi Seilale dapat diartikan sebagai daerah pelabuhan yang masuk agak kedalam.
4. Negeri Ukuhener, dimana Uku berarti ujung dan Hener berarti bagian yang melandai, jadi Ukuhener dapat diartikan bagian ujung yang agak landai. Sekarang Ukuhener lebih dikenal dengan nama Airlow yang berarti air yang selalu menuju ke situ.
Dua negeri kecil :
1. Negeri Eri, dimana Eri berarti dicukur gundul, jadi Eri dapat diartikan daerah hutan yang digunduli.
2. Negeri Hatiari, dimana Hati berarti hati dan Ari berarti melebur menjadi. Jadi Hatiari dapat diartikan perasaan setia kawan yang besar.
Tiga daerah Mataaman :
1. Negeri Urimesing, dimana Uri berarti lima dan Messing berarti persekutuan yang kokoh, jadi Urimessing bararti persekutuan lima bapa yang kokoh, yaitu PUTA, SERI, KAPA, SIMA dan AWAHANG.
2. Daerah Hatu, di mana Hatu berarti batu jadi batu dapat diartikan keras dan kuat seperti batu.
3. Daerah Hatiwe, dimana hati berarti hati, dan we berarti suatu pertanyaan jadi Hatiwe dapat diartikan hati yang bertanya atau tanda tanya.
Ke-empat Negeri besar dan Dua Negeri kecil serta tiga daerah Mataaman ini diperintah oleh seorang Raja yang bernama Latuaihena. Yang artinya raja peneguh negeri. Raja Latuaihena ini tidak mempunyai suatu tempat tinggal, yang tetap. Walaupun begitu tempat bersemayamnya sang raja terutama di Negeri Soa Papala, dekat gunung plakma.
Disamping itu ada juga beberapa tempat lain yang merupakan tempat bersemayamnya raja Latuaihena ini yaitu Wainener atau Waiina, dimana wai artinya air, dan ina atau nener artinya induk, dengan begitu wainener diartikan induk air atau air induk, dan tempat lainnya adalal: di Pohon Pule.
Untuk melancarkan jalannya pemerintahan maka sang raja menunjuk beberapa saudaranya untuk memerintah. Antara lain Kapitan Pear yang memerintah Negeri Ukuhuri, dan Kapitan Risakotta memerintah Negeri Papala. Di Negeri Ukuhuri terdapat dua kota Amanila atau Amalanith dan kota Hatunukon. Sedang di Negeri Papala hanya terdapat satu kota yaitu kota Belo. Kedua Negeri ini hidup dalam keadaan aman dan tentram sampai datangnya bangsa asing.
Bangsa asing yang pertama tiba di Nusaniwe adalah dari Tuban. yaitu tiga orang bersaudara. Anak raja yang keluar dari tubun dengan membawah segumpal tanah dengan maksud untuk ditimbang dan kalau ada yang beratnya sama, ma.ka disitulah mereka akan tinggal menetap. Ketiga saudara itu masing-masing adalah Soleiman yang bergelar Latuputty atau raja putih, sebab kulitnya putih, Sakitawan yang bergelar Latumeten, atau raja hitam, sebab kulitnya hitam, dan Nyai Mas yang bergelar Latumaina atau raja perempuan.
Mereka datang dengan sebuah perahu yang bernama Hatuhuat, kira-¬kira tahun 1511 dan berlabuh di suatu tempat yang akhirnya mereka sebut Maululang, yang berarti atur dulang atau meja makan, sebab biasanya mereka makan disitu. Kemudian Soileman mengantar saudaranya Nyai Mas berangkat ke Soya, dan kembali menetap di bersama saudaranya Sakitawan.
Kedudukan Sakitawan-Latumetan di Tupa dibawah kota Amalanith, kota yang terkuat. Sesudah angkat putusan maka Latumeten diangkat menjadi kapitan untuk beperang melawan penduduk yang dipimpin oleh kapitan Batonawa-Pear. Setelah datang waktunya maka berperanglah mereka, sehingga kedua kapitan besar yaitu Bontunawa-pear dari Kota Amalanith dan kota Hatunukon dan seluruh balanya terbunuh. Hanya satu rumah tanggapan yang selamat dan melarikan diri ke Eri.
Sesudah perang selesai maka Ukuhuri-papala untuk sementara waktu dipimpin oleh kapitan Sakitawan-Latumeten dan kapitan Risakotta. Kejadian ini beilangsung hingga bangsa barat yang pertama datang, yaitu Bangsa Portugis, yang terdampar di pantai Asilulu dekat Hitu, kira-kira tahun 1512 di bawah pimpinan Fransisco Serrao.
Tibanya mereka sesungguhnya di kepulauan penyu milik Negeri Latuhalat, namun orang Ambon menyebutnya pulau tujuh. Pada waktu itu banyak orang Hoamual dari Seram berkelahi dengan orang Hitu, dan perkelahian ieu selesaikan oleh orang Portugis.
Setelah itu para kapitan Hoamual ini pulang ke Hoamual, sedang kapitan Pauthuselang-Salhuteru yang berasal dari Etie, berlayar dengan perahunya melewati tanjung Allang dan tanjung Hatunukon dan singgah pada sala satu labuhan di sebelah Timur Leitimor yang dinamakan labuhan Namalatu atau Nama raja.
Menarut cerita kapitan Pauthuselang-Salhuteru setelah tiba, ia bekerja sama dengan kapitan dari Ukuhuri untuk berperang melawan kapitan dari Tuban atau Jawa. Peperangan ini berlangsung kira-kira 16 tahun, yang dimulai dari tahun 1512-1528, kemudian mereka berperang lagi sampai tahun 1602, dengan demikian lamanya mereka berperang selama 90 tahun.
Tahun 1602 Bangsa Belanda tiba di Ambon, tetapi sebelumnya telah datang mereka dari Hoamual seperti kapitan Lekatom, kapitan Narua dan pengikut-pengikutnya.
Dengan datangnya bangsa Belanda, maka Nusaniwe yang besar daerah kekuasaannya, dibagi-bagi menjadi beberapa daerah yang berdiri sendiri dan diperintah oleh orang kaya atau diperintah demikian juga Soa Papala dan Ukuhuri disatukan menjadi satu negeri dengan Nama Latuhalat, dan orang kaya yang memerintah disana bernama Salhuteru.
2. Letak dan Kedudukan
1. Letak Geogratis
Negeri Latuhalat meliputi Tanjung Nusaniwe seluruhnya yang dikelilingi oleh lautan dan hanya sebagian saja yang berbatasan dengan darah dataran lainnya. Garis batas wilayah Latuhalat adalah sebagai :
- Sebelah timur bebatasan dengan Negeri Airlow.
- Sebelah titnur laut berbatasan dengan Negeri Seilale.
- Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Banda.
- Sebelah utara dengan Teluk Ambon.
Luas Negeri Latuhalat adalah kurang lebih 285 hektar, jarak pantai ke gunung 4 kilometer, dari Latuhalat ke Seilale 2 kilometer, dan dari Latuhalat ke Airlow 1 kilometer. Negeri Latuhalat sebagian besar terdiri dari dataran yang ditumbuhi oleh kusu-kusu atau alang-alang.
Dataran tersebut di antaranya Kota Belo di Waimahu. Sebagian kecil di Amalanith di Tupa, Ruruhata, Ukuhuri, dan Ewangeteng di rata. Di Negeri Latuhalat hanya terdapat sebuah gunung yaitu gunung Plakman, yang tingginya kira-kira 250 meter di atas peumukaan laut.
Latuhalat dibagi atas beberapa dusun aatara lain ; Dusun Waimahu , terletak di ujung tanjung Nusaniwe (dulu soa papala), terbagi atas Waimahu Timur dan Barat, Waimahu Tengah, arahia dan kampong baru. Dusun Tupa, terbagi atas tiga bagian yaitu tupa, muri dan anahu. Dusun Ukuhuri, terbagi atas tiga bagian yaitu Ukuhury, Omputty dan passa. Dusun Rata, terbaai atas dua bagian, Retutu dan rata.
Kedudukan negeri tidak merupakan suatu kesutuan negeri, scbab penduduk berdiam berpencaran di dusun-dusun dati mereka masing-¬masing dengan jarak antar rumah ke rumah agak berjauhan sampai di gunung plakman. Di Latuhalat tidak terdapat hutan atau ewang (hutan kecil). Semua jenis tumbuhan umur panjang ditanam di dusun masing-¬masing warga, seperti pohon pala, cengkih, kelapa, kenari, mangga dan lain sebagiannya. Dengan begitu kedudukan suatu negeri juga turut mempengaruhi sisi perekonomian dan pencarian suatu masyarakat.
2. Iklim dan Musim
Di Desa Latuhalat berlaku pula iklim tropis sebagaimana berlaku di daerah seribu pulau ini, masing-masing musim kemarau lasimnya dari bulan September sampai bulan Februari tahun berikutnya, sedangkan musim penghujan sedangkan musim penghujan dari bulan Maret sampai bulan Agustus tahun berjalan. Antara dua musim ini yaitu dari musim panas ke musim hujan ke musim panas, sering diselingi musim pancaroba. Musim pancaroba ini sering ditandai dengan bertiupnya angin kenjang dari arah yang tidak menentu (paling lama satu bulan).
Dengan adanya perubahan-perubahan musim ini maka tentunya sangat mempengaruhi usaha-usaha masyarakat baik dibidang pertanian maupun di bidang perikanan.

3. Komposisi Penduduk
1. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin
Sesuai dengan data yang diperoleh, maka komposisi penduduk desa Latuhalat menurut jenis kelamin, seperti terlihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1
Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin

No Dusun Jumlah Jenis Kelamin Jumlah
KK Pria Wanita Jiwa
1 Waimahu I 232 549 585 1.134
2 Waimahu II 220 678 704 1.382
3 Tupa 228 513 529 1.042
4 Ukuhuri 137 308 345 653
5 Umputty 194 452 461 913
6 Passa Rata 218 504 498 1.002
Total 1.229 3.004 3.122 6.126
Sumber Data: Kantor Desa Latuhalat Tahun 2007

Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa jumlah penduduk Desa Latuhalat yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 3.004 jiwa, sedangkan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 3.122 jiwa, sehingga terlihat dengan jelas bahwa jumlah penduduk desa Latuhalat adalah 6.126 jiwa.
2. Komposisi penduduk menurut kelompok umur
Sesuai dengan data yang ada, maka komposisi penduduk Desa Latuhalat menurut kelompok umur terlihat sebagai berikut :

Tabel 2
Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur

No Kelompok
Umur Frekuensi % Keterangan
1 0-3 Tahun 324 5.29
2 4-6 Tahun 365 5.98
3 7-12 Tahun 741 12.10
4 13-15 Tahun 410 6.69
5 16-18 Tahun 464 7.57
6 19-30 Tahun 2.010 32.81
7 31-50 Tahun 1.031 16.83
8 51 tahun keatas 781 12.75
Total 6.126 100
Sumber Data : Kantor Desa Latuhalat Tahun 2007
Data di atas menunjukan usia antara 0-3 tahun berjumlah 324 (5,29 %), penduduk yang berusia 4-6 tahun berjumlala 365 (5,98 %), penduduk yang berusia 7-12 tahun berjumlah 74l (12,10 %), penduduk berusia 13-15 tahun berjumlah 410 (0,69 %), penduduk berusia 16-18 tahun 464 (7,57 %), penduduk berusia 19-30 tahun merupakan kelompok umur terbesar dengan jumlah 2.010 (32,81 %), penduduk berusia 3l-50 tahun berjumlah 1.031 (16,83 %), penduduk berusia 51 tahun ke atas berjumlah 78l (12,75 %). Dengan demikian jumlah penduduk Desa Urimessing adalah 6.126 (100 %).
3. Komposisi penduduk menurut agama
Agama merupakan faktor penting pembentukan kehidupan moral manusia dalam rangka menuju kepada suatu tujuan bersama yakni menciptakan kondisi sosial yang serasi dan harmonis.


Bangsa Eropa yang datang ke Maluku (Ambon) selain untuk berdagang juga menyebarkan agama Kristen sehingga diperkirakan sekitar abad ke tujuh belas terjadi proses Kristenisasi dan masyarakat mulai memeluk agama Kristen Protestan. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari tabel berikut ini :
Tabel 3
Komposisi Penduduk Menurut Agama

No Agama Frekuensi % Keterangan
1 Kristen Protestan 6.116 99.83
2 Kristen Katolik 10 0.17
3 Islam - -
4 Hindu - -
5 Buddha - -
Total 6.126 100
Sumber Data : Kantor Desa Latuhalat Tahun 2007

Data di atas menunjukan bahwa jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan lebih banyak dengan jumlah 6.116 (99,83 %) dan penduduk yang bergama Kristen Katolik berjumlah 10 (10,17 %). Dengan demikian penduduk Desa Latuhalat mayoritas bergama Kristen dengan jumlah 6.126 (100 %).
4. Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan
Kemampuan suatu desa dan bahwa majunya suatu bangs dan negara ini dapat diukur dari tingkat pendidikan warganya. Di samping ukuran dari segi tingkat ekonomi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa penduduk desa Latuhalat tergolong masyarakat yang sadar akan pendidikan apalagi ditunjang dengan sarana dan prasarana fisik sekolah antara lain, Taman Kanak-kanak 2 (dua) buah, Sekolah Dasar Swasta 2 (dua) buah, Negeri 4 (empat) buah, Sekolah Menengah Pertama 1 (satu) buah dan sebuah Sekolah menengah Umum Negeri. Untuk mengetahui keadaan tingkat pendidikan masyarakat Desa Latuhalat, dapat dilihat dalam data dalam tabel berikut ini.
Tabel 4
Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

No Tingkat
Pendidikan Frekuensi % Keterangan
1 Tidak/belum bersekolah 755 12.32
2 Taman Kanak-Kanak 237 8.37
3 Sekolah Dasar 2.612 42.64
4 SMTP 1.057 17.25
5 SMU 1.238 20.21
6 Akademik/Perguruan Tinggi 227 3.71
Total 6.126 100
Sumber Data : Kantor Desa Latuhalat Tahun 2007

Dari tabel di atas, dapatlah diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat di Desa Latuhalat yaitu dengan jumlah yang tertinggi SD sebanyak 2.612 orang (42,64 %), yang berpendidikan SMTP 1.057 orang (117,25 %), yang berpendidikan SMU 1.238 orang (20,21 %), yang berpendidikan akademik/ Perguruan Tinggi 227 orang (3,71 %), yang berpendidikan Taman Kanak-kanak 237 orang (3,87 %), serta yang belum/tidak bersekolah sebanyak 755 orang (12,32 %).
5. Kamposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Bila dilihat dari alamnya, maka penduduk Desa Latuhalat pada umumnya menggantungkan hidupnya di darat dan di laut (Petani dan Nelayan). Sebagian besar penduduk yang hidupnya bertani, mengolah tanahnya, dengan menanam berbagai jenis tanaman seperti ubi kayu (kasbi), pisang, papaya dan berbagai tanaman umur panjang seperti durian dan lain sebagainya. Hasil kebun tersebut sebagian dikomsumsikan dan sebagian dipasarkan guna memenuhi keperluan hidup mereka sehari-hari.
Perincian keadaan mata pencaharian penduduk Desa Latuhalat dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 5
Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Mata
Pencaharian Frekuensi % Keterangan
1 Pegawai Negeri Sipil 314 5.13
2 TNI/POLRI 17 0.28
3 Pegawai Swasta 87 1.42
4 Wiraswasta 241 3.93
5 Petani 854 13.49
6 Pertukangan 270 4.41
7 Pensiunan 77 1.26
8 Nelayan 225 3.67
9 Jasa 14 0.20
10 Tidak/belum bekerja 3.967 64.76
Total 6.126 100
Sumber Data : Kantor Desa Latuhalat Tahun 2007

Dari tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar penduduk Desa Latuhalat bekerja sebagai petani dengan jumlah 854 orang (13,94 %), sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) berjumlah 314 orang (5,13 %), sebagai nelayan 225 orang (3,67 %), di bidang pertukangan sebesar 270 orang (4,41 %), sebagai pegawai swasta berjumlah 87 orang (1,42 %), yang berwiraswasta berjumlah 241 orang (3,93 %), sebagai TNl/POLRI berjumlah l7 orang (0,28 %), yang pekerjaannya menawarkan jasa berjumlah 14 orang (0,20 %), sebagai pensiunan berjumlah 77 orang (1,26 %), dan yang belum atau tidak bekerja berjumlah 3.967 orang (64,76 %), sehingga jumlah totalnya adalah 6.126 orang (100%).
1.2. Kebudayaan
Negeri Latuhalat merupakan salah satu negeri adat yang ada di Pulau Ambon. Sehingga pada berbagai hal dalam prilaku mereka seringkali dikaitkan dengan adat-istiadat atau budaya yang ada dan mengatur pola hidup bermasyarakat secara umum di Pulau Ambon. Budaya ini bukanlah hal baru, namun merupakan turun-temurun dari orang tatua terdahulu, yang pada prinsipnya berpola dari kehidupan masyarakat Pulau Seram, yaitu kelompok ULI SIWA dan ULI LIMA atau disebut PATA SIWA dan PATA LIMA, yang terus dipertahankan hingga saat ini. Salah satu dari kebudayaan yang ada dan masih dipertahankan oleh masyarakat Latuhalat yang menganut adat atau budaya Pata Lima adalah Prosesi Makan di Meja Not atau lebih di kenal dengan. Jamuan Makan Piring Balapis, di mana jumlah piring yang dipakai berjumlah 5 (lima) lapis/susun.
Budaya makan di Meja Not, merupakan salah satu budaya orang Latuhalat, yang telah mengalami perpaduan dengan budaya barat (Belanda), sehingga budaya ini terkesan kebarat-baratan. Diduga. budaya ini sudah ada sejak dahulu kala zaman orang tatua terdahulu, yang oleh orana Latuhalat disebut Tete nene moyang.. Namun namanya bukan Makan Meja Not. Kemudian setelah masuknya bangsa orang Eropa dalam hal ini bangsa Belanda, budaya ini direkontruksi sehingga menjadi seperti sekarang ini, dan istilahnya kemudian menjadi Makan Meja Not. Secara umum, budaya Makan di Meja Not atau istilahnya Makan Meja Not bukan saja ada di Latuhalat, tetapi juga di Pulau Ambon hampir keseluruhan negeri adatnya mengenal budaya ini, walaupun di kenal dengun sebutan yang lain, dan prosesinya juga berbeda.
Orang Latuhalat yang masih muda, tidak terlalu mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya budaya Makan Meja Not. Namun ba~,i bagi mereka yang merupakan tua-tua adat negeri, sangat mempertahankan budaya ini. Namun yang sangat disayangkan sekali sejalan dengan perkembangan zaman, pola pikir masyarakat juga berubah. Budaya yang memiliki nilai estetika tinggi ini namun pasti mulai dilupakan orang.
1.3. Persepsi Tentang Makan di Meja Not
Bagian penulis akan memaparkan dan menganalisi hasil penelitian menyangkut persepsi orang Latuhalat terhadap Makan di Meja Not. Adapun analisis ini tetap berpedoman pada indikator-indikator sebagai berikut :
- Pengetahuan
- Pandangan
- Sikap


1.3.1. Pengetahuan Tentang Meja Not.
Meja Not adalah budaya bapanggel atau mengundang, yang turun temurun dari orang tatua terdahulu, sebagai sarana persekutuan Saudara-basudara. Istilah Not berasal dari bahasa Belanda Notch, yang berarti undangan atau secara budaya Latuhalat dikenal istilah Panggel. Sehingga Meja Not dapat diartikan sebagai meja makan untuk para undangan atau meja perjamuan makan untuk para undangan. Meja ini berupa sebuah meja yang panjang, yang kadang-kadang dapat ditempati (di duduki) oleh kurang lebih tujuh puluh lima (75) sampai seratus (100) orang, dengan dekorasi bunga-bunga (beberapa vas bunga) dan botol-botol minuman yang disajikan juga kue-kue, serta bendera yang masing-masing harus berjumlah ganjil. Hal ini hanya sebagai hiasan saja. Pada meja pertama biasanya Broit atau Pengantin dan keluarganya, serta undangan yang mempunyai pengaruh dalam lingkungan atau negeri. Dulu, Makan di Meja Not harus menggunakan 5 piring yang disusun berlapis, sebagai gambaran pada komunitas masyarakat negeri Latuhalat yang merupakan rumpun Uli Lima atau disebut Pata Lima, dengan susunan sebagai berikut :
a. Piring Pertama, untuk makanan pembuka yaitu Sup
b. Piring Kedua, untuk nasi ungkep dengan lauknya.
c. Piring Ketiga, untuk jenis makanan Stof atau sejenisnya.
d. Piring Keempat untuk makanan penutup.
e. Piring Kelima, sebagai pengalas untuk penyusunan Jamuan Meja berikutnya.
Dalam perkembangannya, jumlah piring pada prosesi Makan di Meja Not sudah tidak lima piring lagi, namun tergantung pada kemampuan tuan rumah. Namun yang seharusnya, jumlah piring pada Prosesi Makan di Meja Not adalah 5 piring. Biasanya pada acara-acara pernikahan, pihak atau keluarga yang mempunyai acara meminta orang yang tahu pengaturan Meja Not. Meja Not juga biasanya disebut meja Salawir atau meja, pelayanan. Salawir adalah orang-orang yang bertugas melayani undangan pada acara Makan di Meja Not.
Pada prosesi Makan di Meja Not, dikenal ada dua objek yang memegang peranan penting. Yang pertama adalah Kepala Meja atau orang yang bertugas untuk komando, dan salawir yang tugasnya melayani. Kepala Meja ini tugasnya untuk meniup refri sebagai tanda memulai makan dan mengakhiri makan. Seorang Kepala Meja harus mengetahui beberapa hal seperti :
1. Orang yang diundang berapa ?
2. Orang yang dipanggil berapa ?


Pada prosesi makan Meja Not, meja pertama biasanya adalah pihak keluarga dari kedua mempelai (pada acara pesta Nikah), kepala desa, dan orang-orang yang mempunyai pengaruh di dalam Desa. Dan Meja terakhir, adalah meja bagi mereka yang melayani atau Salawir.
Prosesi makan di Meja Not yang seharusnya dapat diuraikan sebagai berikut. Meja Not kalau disiapkan untuk 100 orang, maka yang harus disiapkan oleh tuan rumah adalah 100 x 5 buah piring, sehingga piring yang disiapkan adalah 500 buah. Piring yang kelima adalah sebagai dasar dari semua piring yang telah disiapkan. Pada piring yang pertama disajikan menu Sup, tetapi sebelum itu, undangan harus meminum anggur yang telah disiapkan di gelas anggur atau Sloki sebagai pemanas untuk perut. Piring kedua disajikan nasi, sayur dan lauk. Piring ketiga, disajikan Stoof, yang berupa makanan dari kentang yang dimasak dengan daging ayam atau daging yang lain (terlihat jelas makanan ala Eropa atau Belanda). Piring keempat, disajikan menut yang disebut buah-buahan, sebagai menu penutup dari semua menu yang disajikan. Piring kelima, sebagai dasar dari semua piring yang mencerminkan Pata Lima. Biasanya, setiap piring dilengkapi dengan satu buah sendok, satu buah garpu, satu buah gelas anggur atau sloki, satu buah gelas dan satu buah pencuci tangan, untuk setiap orang yang makan.
Untuk memulai makan di Meja No, tergantung dari kehadiran undangan dan besar kecilnya meja. Sebelum acara makan pada meja pertama, biasanya diawali dulu dengan doa pembukaan, oleh orang yang sudah ditentukan oleh tuan rumah. Dan doa penutupan setelah selesai meja yang terakhir. Tidak menutup kemungkinan untuk setiap meja ada doa pembukaannya dan doa penutupannya. Undangan adalah Tuan dan Salawir adalah Pelayan. Undangan masuk dan duduk di Meja Not, tidak harus masuk secara berurutan dari awal jung meja, tetapi dapat juga depa atau melangkahi bangku, tergantung pada posisi di mana piring telah diatur. Prosesi makan di Meja Not tidak tergantung pada waktu, tetapi pada cepat lambatnya para undangan makan dan minum. Jika semua undangan telah selesai makan, maka kepala meja dapat meniup refri sebagai tanda makan pada menit yang pertama selesai. Seorang salawir, harus melayani tamu atau undangan di Meja Not dari sebelah kiri, agar mempermudah undangan menimba, atau mengambil menu. Selama prosesi makan di Meja Not, penganti harus duduk di tengah-tengah meja, tidak harus berhadapan, tetapi berdampingan. Makan di Meja Not tidak dibatasi oleh usia, siapa saja dapat makan di Meja Not. Aturan makan di Meja Not, jika satu menu telah selesai, piring untuk menu tersebut langsung diangkat. Setelah selesai makan undangan harus minum anggur, sebagai minuman kehormatan di Meja Not.
Perbedaan antara Meja Not dengan meja makan biasa, dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Makan di Meja Not, terasa lebih bersifat kekeluargaan, karena semua duduk pada satu meja dan merasakan makanan yang sama.
2. Meja makan biasa, kita/katong, hanya menimba atau mengambil menu/makanan, dan tidak harus duduk di meja.
3. Keteraturan dan cara makan pada Meja Not lebih baik dari pada makan di Meja biasa.
Pengetahuan tentang Jamuan Makan di Meja Not itu katong tahu dari katong pung bapa, jadi intinya secara turun temurun, di tambah lagi dengan apa yang selama ini katong lihat, pada setiap kali ada prosesi makan tersebut.
Makan di Meja Not, katong merasa sangat atau lebih dihargai dari pada di meja resepsi biasa. Dan secara ke dalam, katong merasa bangga, bisa duduk dan menjadi tuan yang dilayani di Meja Not.

Dan hingga dengan saat ini jamuan makan di Meja Not masih terus di pertahankan oleh masyarakat Desa Latuhalat. Meja Not itu dipertahankan oleh masyarakat Desa Latuhalat karena merupakan budaya yang memiliki nilai, etika dan norma yang melebihi prosesi makan yang lain. Meja Not dilakukan sebagai sarana pemersatu bagi keluarga yang punya acara, agar mereka bisa saling lebih mengenal satu dengan yang lain. Pihak yang berkepentingan pada makan di Meja Not secara umum adalah tuan rumah, namun jika sudah dalam prosesinya, maka pihak yang paling berkepentingan adalah, Kepala Meja. Meja Not itu biasanya dilakukan pada acara pesta nikah dan saya pikir tidak ada yang bisa menggantikan Meja Not. Jadi jika Meja Not tidak dilakukan, ya... tergantung dari tuan rumah, dan tidak ada hukum yang mengatakan bahwa jika tidak dilakukan Meja Not maka kamu (tuan rumah) akan begini dan begitu.
1.3.2. Pandangan Tentang Meja Not
a. Makan di Meja Not perlu dipertahankan, karena secara kekeluargaan kita/katong duduk pad asatu meja makan.
b. Makan di Meja Not merupakan salah satu budaya orang Latuhalat, sehingga bagaimanapun juga perlu dilestarikan dan dipertahankan.
c. Makan di Meja Not, di sisi lain, merupakan media pembelajaran disiplin dan tatakrama, sehinga layak dipertahankan.
Menurut Bapak Wilhem Tuhusula jika dilihat dari segi ekonomi, maka untuk masa sekarang ini prosesi Makan di Meja Not, kurang perlu dipertahankan, karena merupakan suatu pemborosan bagi yang punya acara, dan membutuhkan tenaga yang besar (kerja banya). Namun secara kebudayaan, perlu untuk dilestarikan terus.


Meja Not itu penting dilakukan karena mengandung nilai-nilai tidak akan ditemui pada acara makan yang lain, dan sangat disayangkan sampai budaya ini hilang. Meja Not ini masih dapat dipertahankan, karena yang pertama faktor pengetahuan, dalam arti masih ada orang di Latuhalat yang tahu cara pengaturannya, kemudian makan di Meja Not tidak bertentangan dengan hukum manapun.
Fungsi dan peranan Meja Not dapat dikatakan sebagai alat atau sarana untuk memupuk rasa kebersamaan saudara-bersaudara, sekaliaus sebagai tali pengikat rasa kekeluargaan secara umum pada masyarakat Latuhalat dalam hal ini sebagai sarana BAKUDAPA.
Jamuan Makan di Meja Not, tidak bertentangan dengan ajaran Kristen, malah sebaliknya, memiliki nilai-nilai yang mencerminkan Kekristenan, karena pengaturan makan di Meja Not, serupa dengan pengaturan Meja Perjamuan Kudus dalam ajaran Kristen.
1.3.3. Sikap Terhadap Meja Not
Makan di Meja Not harus dikembangkan. Saya mendukung sekali prosesi makan di Meja Not, Meja Not itu perlu dilestarikan dan dibudayakan terus bagi generasi berikutnya.
Pada saat sekarang ini, orang lebih cenderung memilih meja resepsi biasa dari pada Meja Not. Hal ini terjadi karena yang pertama faktor pengetahuan tentang Makan di Meja Not sangat minim. Dan faktor yang lain adalah pemborosan dana pada acara Makan di Meja Not.
Keterlibatan masyarakat pada umumnya, tergantung dari lingkungan masing-masing. Namun berdasarkan pengalaman saya, untuk makan di Meja Not, masyarakat pada umumnya ingin sekali duduk dan makan, tetapi untuk menjadi Salawir atau orang yang melayani, sangat kurang respon dari masyarakat.
Kalau makan, dong mau, kalau untuk menjadi Salawir, dong seng mau

Kalau Meja Not, tidak dilakukan sama sekali, dalam arti dihapuskan begitu, maka katong merasa gagal, karena tidak bisa melestarikan budaya orang tatua. Tetapi kalau hanya karena tidak mau kerja banyak, itu tidak apa-apa kan, tergantung yang punya acara. Secara pribadi katong akan berusaha untuk menghadirkan prosesi makan di Meja Not kalau ada acara pesta nikah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar