Anggota angkatan 2003 Filsafat UKIM

Chaky, Ona Aya, Meidy, Kea, Lita, Kaneng, Etalake, Oi’Tiku, Nesy, Lineng, Mersy, Netty, Taro-Domy, Turo-Ebeth, Neng, Ensy, Eci, Choco, Ike, Beben, Tommy, Ika, Zisi, Novi, Aketa, Tata, Acith, Ona Kap, Eva, Ences, Dian, Olive Seke, Denis, Is Latul, Totoy, Gama, Noel, Marino, Odon, Ano, Max, Endik, Rina, Au, Emang, Ema, Eges, D4, Charis’t, Cakhlop’z, Eda, Ati, Kakak Dello, kakak Mis, Tine, Imel, Chey, Itin, Yun, Ane, Eges’L, Wellem, Ein, Erlin, Winter, Vally, Anika (Alm).

BAKUMPUL SUDAH

BAKUMPUL SUDAH
TAPISAH UNTUK PELAYANAN ADALAH SESUATU YANG TERINDAH

Rabu, 29 Juli 2009

GAMAL WIRTHA REFLEKSI


REFLEKSI

Penginjilan Dalam Politik

Oleh

Gamaliel H. Wirtha.S.Si

Pengantar

Dalam Konstitusi Negara Indonesia, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menjadi pemimpin di Negara baik di tingkat Eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota) dan tingkat Legislatif (Anggota DPR, DPD dan DPRD). Untuk menjadi pemimpin yang dimaksudkan diatas haruslah melalui poses yang dinamakan Pemilihan Umum. Namun setiap akhir dalam pemilihan tersebut sering berakhir dengan konflik. Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata polis yang berarti Negara Kota (Syafiie I.K, 2000 ; 18). Kota ini merupakan satu kesatuan politik yang memiliki perundang-undangan, sistem dan kelembagaan politik. Dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama. Dalam hubungan ini timbul aturan, kewenangan dan akhirnya kekuasaan. Selain itu oleh A. hoogerwerf, politik itu dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan, pemerintahan, konflik dan pembagian atau kata-kata yang serumpun. Dengan demikian politik dapat dimengerti sebagai alat pengambilan keputusan untuk kehidupan bersama. Dalam ilmu politik, istilah politik dikaitkan dengan kekerasan dan benturan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme dan revolusi (Subakti, 1992:149). Namun sesungguhnya konflik mengandung pengertian, perbedaan pendapat, persaingan, pertentangan di antara individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Konflik juga tidak identik dengan kekerasan sehingga konflik dapat berwujud “tanpa kekerasan” dan “menggunakan kekerasan”. Oleh karena itu konflik dalam politik dapat terjadi dari tingkat rendah sampai paling tinggi yaitu kekerasan atau perang (Bambang Subandrijo dkk, 2003; 123). Tujuan dari politik itu sebenarnya baik. Namun karena ambisi dan keserakahan manusia yang membuat politik menjadi tak bermakna dan menjadi “monster” yang menakutkan. Disini ada pertanyaan yang perlu direfleksikan bersama, bagaimana injil dapat “bersinar” dalam bidang politik?

Politik Sebagai Alat bukan Tujuan

Politik sering dianggap orang sebagai sesuatu yang jijik, kotor. Hal ini karena politik bagaikan “panggung sandiwara”, untuk itu tergantung dari pemainnya. Mungkin dalam politik para pemainnya selalu menggunakan cara-cara yang tidak luhur (jujur, adil, transparan) sehingga politik dinilai sebagai sesuatu yang kotor atau ada alasan lain. Dalam politik (baca: Pemilu Legislatif, Pilpres, Pilkada) adalah momen yang paling penting karena dengan momen tersebut, masyarakat secara langsung dapat menentukan pemimpin yang dapat menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat. Memilih pemimpin melalui pemilihan umum secara langsung adalah memilih pemimpin yang mempunyai kapabilitas, kredibilitas untuk menghadirkan kesejahteraan bersama. Pemilu dapat berjalan dengan baik apabila cara yang digunakan adalah cara-cara yang luhur.

Banyak hal yang dapat kita lihat bersama bahwa akhir dari pemilu itu, terjadinya konflik baik itu antar calon, tim sukses, masa pendukung begitu pula dengan penyelenggara pemilu (KPU). Hal-hal ini dapat terjadi karena tidak adanya sikap “siap bersaing, siap kalah”, adanya dugaan pelanggaran, maupun dugaan keberpihakan penyelenggara pemilu terhadap calon tertentu. Jika hal-hal ini turut mewarnai pemilu maka terjadinya konflik. Konflik itu dapat berawal dari individu /kelompok yang mulai memainkan opini ke publik melalui media massa, demonstrasi bahkan sampai anarkisme.

Dalam realitas kehidupan berbangsa, di sebagian daerah setiap akhir dari pemilu, terjadinya konflik. Hal ini dilakukan sebagai protes terhadap hasil pemilu yang diumumkan. Ini merupakan sikap tidak menerima kekalahan ataupun dugaan pelanggaran. Namun haruslah disadari bahwa politik ini bukanlah tujuan tetapi hanyalah sebagai alat untuk memilih pemimpin. Jika politik ini dipahami sebagai tujuan maka terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Dalam politik dengan sistem demokrasi, kita memilih pemimpin yang punya kemampuan dan dapat terbuka untuk bekerja sama, demokratis dalam upaya memajukan kesejahteraan bersama. Dalam menentukan pemimpin yang berkualitas, peran masyarakat juga sangat penting. Dengan adanya dukungan dari setiap warga negara maka pemilu yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Di sini sangat di butuhkan kedewasaan dari masyarakat sehingga dalam pemilihan haruslah menggunakan cara-cara yang luhur (Taat Aturan, Jujur, Adil).

Perlu diktahui bahwa tujuan pemilu ini sangat mulia dimana rakyat dapat memilih pemimpinnya secara langsung yang di yakini dapat menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat. Pemimpin itu adalah hamba Allah di dunia yang tugasnya adalah untuk keadilan, kebenaran kebaikan bersama untuk mensejahterahkan rakyat (Bnd Rm 13). Dalam Tata Kota polis (Negara Kota), plato berkeyakinan bahwa kesejahteraan umum atau bonum commune hanya bisa dicapai dengan mengedepankan keutamaan atau kebajikan (Latin: Virtus). Keutamaan atau kebajikan tersebut adalah nilai-nilai instrik terbatinkan seperti keadilan, kebijaksanaan, keberanian, solidaritas. Jika setiap masyarakat memegang keutamaan ini maka tercipta tata solidaritas untuk menjaga kota. Sebaliknya jika mencedrai solidaritas ini, maka terjadinya ketidak-adilan, sikap dan tindakan takabur, sikap pengecut dan membuat perpecahan dalam masyarakat dan lain-lain. Sikap solidaritas yang ditulis Paulus adalah agar selalu saling menolong sebab dengan menolong, kita telah memenuhi hukum Kristus (bnd Galatia 6).

Sebagai orang Kristen, dalam setiap perilaku kehidupan, haruslah memiliki sikap yang injili yaitu kebenaran yang telah di ajarkan Yesus kepada umatnya (bnd Kitab-kitab Injil). Politik adalah salah satu alat yang dapat dipakai sebagai alat untuk meneruskan karya Allah bagi keselamatan manusia. Jika masih ada pemahaman bahwa politik itu adalah kotor, jijik maka pemahaman ini merupakan pikiran sesat yang harus di “kuburkan”, karena untuk dapat membuat rakyat menjadi sejahterah , itu ada dalam sistem politik baik itu eksekutif maupun Legislatif; sebab berbicara mengenai pendidikan gratis atau murah, kesehatan gratis atau murah, aturan yang berpihak bagi rakyat dan lain-lainnya hanya dapat dilalui melalui politik di mana adanya kesepakatan bersama antar eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota dan legislatif (DPR, DPD, DPRD).

Implikasi Etis Teologis

Politik sebagai alat untuk melayani berarti saat pemilu dilakukan, para konstestan harus memiliki sikap “Siap Bersaing-Siap Kalah” itu berarti jika belum mendapat kepercayaan dari rakyat untuk melayani, haruslah legowo/berbesar hati untuk menerima kekalahan dan menghormati yang menang serta turut serta untuk mendukung yang menang untuk bersama-sama menciptakan kebaikan dan menghadirkan kesejahteraan bagi kehidupan bersama. Selain itu, cara-cara yang digunakan haruslah cara-cara yang luhur (jujur, Adil). Jika mencapai tujuan yang mulia dengan cara yang tidak luhur maka hasil pemilu itu adalah terjadinya konflik. Tetapi jika dalam mencapai tujuan yang mulia itu dengan cara yang luhur maka hasil itu dapat bermakna dan ini adalah sikap yang baik sesuai ajaran Kristus dimana mengutamakan kebenaran. Dengan demikian Injil dapat menyinari politik sehingga politik itu bukan untuk sekedar mengejar kekuasaan tetapi sebagai alat untuk melayani. Hal ini karena Yesus terlebih dahulu melakukannya (Bnd. Mrk 10:45). Selain itu, sebagai warga negara yang baik, haruslah menunjukan sikap yang baik dalam turut serta mensukseskan setiap pemilu yang dilakukan sebagai tanggung jawab iman kepada Allah. Dengan adanya dukungan dari setiap warga negara maka pemilu yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Di sini sangat di butuhkan kedewasaan dari masyarakat sehingga dalam pemilihan haruslah menggunakan cara-cara yang luhur (Taat Aturan, Jujur, Adil).

Akhirnya sebagai penutup dari refleksi ini ingin dikatakan bahwa kesadaran sebagai warga masyarakat, warga bangsa dalam bingkai NKRI, kita harus menjadikan politik sebagai alat pelayanan yang bermakna di mana dengan alat ini, kita dapat menghadirkan nilai-nilai cinta kasih, keadilan, kebenaran dan kesejahteraan untuk semua orang. Semua ini kita lakukan bukan karena paksaan tetapi sebagai wujud pertanggung-jawaban iman kita kepada Allah, apapun latar belakang kita, Suku, Agama, Ras, Antar Golongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar