Anggota angkatan 2003 Filsafat UKIM

Chaky, Ona Aya, Meidy, Kea, Lita, Kaneng, Etalake, Oi’Tiku, Nesy, Lineng, Mersy, Netty, Taro-Domy, Turo-Ebeth, Neng, Ensy, Eci, Choco, Ike, Beben, Tommy, Ika, Zisi, Novi, Aketa, Tata, Acith, Ona Kap, Eva, Ences, Dian, Olive Seke, Denis, Is Latul, Totoy, Gama, Noel, Marino, Odon, Ano, Max, Endik, Rina, Au, Emang, Ema, Eges, D4, Charis’t, Cakhlop’z, Eda, Ati, Kakak Dello, kakak Mis, Tine, Imel, Chey, Itin, Yun, Ane, Eges’L, Wellem, Ein, Erlin, Winter, Vally, Anika (Alm).

BAKUMPUL SUDAH

BAKUMPUL SUDAH
TAPISAH UNTUK PELAYANAN ADALAH SESUATU YANG TERINDAH

Kamis, 20 Agustus 2009


BAB III
ANALISA DATA DAN
PEMAHAMAN TENTANG GEREJA

A. ANALISA DATA
− Hasil wawancara dengan responden, pada prinsipnya jemaat-jemaat GPM Pulau Banda memahami Gereja sebagai sebuah persukutuan yang utuh, dimana umat dalam persukutuannya harus saling menopang, mendoakan, bersukutu satu dengan yang lain sekaligus juga menjadi umat yang senantiasa memuji Allah. Pemahaman ini, menjadi dasar atau pilar yang utama bagi jemaat-jemaat GPM Pulau Banda yang berada di tempat relokasi dalam setiap membangun jemaat atau persukutuan, terlebih dari pada itu sebagai Gereja yang tetap berjalan untuk memuliakan Tuhan ditengah-tengah Dunia. Eklesia merupakan persukutuan orang-orang yang di panggil keluar dari dunia mereka yang lama dan dikuduskan, artinya di asingkan dari persukutuan-persukutuan yang lain di dunia ini dan digunakan oleh Allah sebagai alat dalam karya penyelamatan-Nya. Sebagai alat yang demikian tidaklah abstrak tetapi konkrit. Nampak pada waktu zaman Perjanjian Baru terdapat di Yerusalem, Roma, Korintus, Filipi, Tesalonika juga di Indonesia : Jakarta, Bandung, Medan, Ambon. Persukutuan itu juga merupakan karya Roh Kudus yang bekerja dalam pribadi-pribadi umat dan membentuk sebuah persukutuan atau Gereja.
Persepsi atau pemahaman jemaat-jemaat GPM Pulau Banda tentang Gereja merupakan suatu hal yang mutlak yang dimiliki atau dianut oleh umat Kristen pada umumnya. Gereja bukanlah persukutuan yang bergerak mundur atas tantangan dan perkembangan zaman yang setiap saat mengalami perubahan, tetapi sebaliknya Gereja mesti bergerak maju dalam setiap perubahan yang terjadi, baik perubahan yang terjadi secara internal maupun secara eksternal.
Fakta umum yang dijumpai oleh penulis dalam penelitian partisipatif ketika penulis mencoba dan memahami aktifitas hidup jemaat-jemaat GPM Pulau, Banda dalam kesehariannya. Terlihat bahwa jemaat hidup tidakkah sesuai dengan apa yang telah disampaikan tentang Gereja, namun sebaliknya kehidupan jemaat sehari-hari yang membuat klasifikasi dalam tubuh jemaat itu sendiri. Sebagai contoh yang juga telah diulas dalam Bab I, bahwa jemaat-jemaat GPM Pulau Banda yang pada awalnya mereka berdiri sendiri, kini di tempat relokasi mereka terlebur menjadi satu dan dilayani oleh satu orang Pendeta. Hal ini memunculkan rasa egoisme jemaat pada tiap-tiap individu?
− Dari hasil wawancara dengan responden, bahwa sistim pelayanan Gereja yang diterapkan terhadap jemaat-jemaat GPM Pulau Banda sebelum dan sesudah relokasi tak mengalami perubahan. Dalam artian bahwa, sistem pelayanan Gereja yang diturunkan dari, Sinode ke Klasis, Klasis ke jemaat dari awalnya saat mereka berada di Pulau Banda, hingga sekarang berada di tempat relokasi Suli Atas Ambon sama sekali tidak mengalami perubahan. Adapun kebutuhan yang dianggap sebagai perubahan di tempat relokasi adalah pelayanan Gereja tingkat jemaat lebih menjurus dan terbuka pada empat jemaat yang dijadikan satu. Tanggungan Pelayanan (TAPEL) di serahkan langsung ke Sinode. Secara organisasi Gereja Protestan Maluku, seharusnya tanggungan Pelayanan diserahkan ke Klasis kemudian Klasis serahkan ke sinode. Hal ini dikarenakan jemaat-jemaat GPM Pulau Banda tak memiliki Klasis sebagai sarana dan prasarana.
Sistem pelayanann Gereja yang tak mengalami perubahan bagi jemaat-jemaat GPM Pulau Banda adalah sistem yang baku atau umum. Sistem itu dipakai oleh setiap jemaat GPM baik yang direlokasi maupun yang tidak direlokasi. Sebagai contoh, pelaksanaan Ibadah-ibadah Minggu, Sektor, maupun pelayanan Gereja yang lainnya, berlangsung sama seperti jemaat-jemaat ini berada di Banda. Dengan sistem pelayanan yang tak mengalami perubahan membuat jemaat-jemaat GPM Pulau Banda yang berada di tempat relokasi sama sekali tak mengalami perubahan yang memadai. Jemaat hanya mengikuti semua perkembangan yang terjadi tanpa harus melihat konteks yang sesungguhnya dari jemaat itu sendiri. Selama proses penelitian berlangsung penulis melihat perubahan yang negatif dari pemahaman jemaat yang ada yaitu, kesadaran umat yang cenderung merosot dalam hal keterlibatan dalam setiap kegiatan pelayanan Gereja. Masalah ini yang menjadi gumulan bersama dalam jemaat-jemaat GPM Pulau-pulau Banda.
− Senada dengan responden yang lain bahwa, perubahan-perubahan yang ada bagi jemaat-jemaat GPM Pulau Banda merupakan sebuah kebutuhan yang benar-benar di butuhkan oleh jemaat itu sendiri atau sesuai dengan konteks jemaat di tempat relokasi. Fungsi atau sistem pelayanan Gereja yang tak mengalami perubahan apa pun mesti menjadi gumulan bersama dalam hal ini GPM. Alasanya jemaat-jemaat GPM Pulau Banda hanyalah ada dan tetap bertahan dengan kondisi yang ada. Kondisi seperti ini yang membuat jemaat tak berkembang atau berubah ke arah yang lebih baik. Situasi dan kondisi dari hasil amatan penulis selama satu bulan penelitian bahwa jemaat tak mengalami perubahan selain sistem dan pelayanan Gereja yang tak berubah juga kesadaran jemaat atau pemahaman diri jemaat sebagai Gereja yang utuh dari persukutuan yang ada. Terdapat fakta bahwa dalam dalam pribadi-pribadi jemaat masing-masing masih teradapat ’’egoisme’’ jemaat (pembedaan jemaat asal), Jemaat masih merasa bahwa pribadinya merupakan jemaat tersendiri sekalipun berada sebagai persukutuan dengan jemaat-jemaat yang lain. Hingga sekarang ini jemaat-jemaat GPM Pulau Banda masih tetap mengikuti semua sistem atau pelayanan Gereja yang diterapkan sejak dahulu, sewaktu masih berada pada masing-masing lingkungan jemaatnya di Pulau-pulau Banda.
− Dari hasil wawancara dengan responden, umumnya para responden mengatakan bahwa aturan aturan Gereja yang baru bagi jemaat-jemaat GPM Pulau Banda di tempat relokasi sama sekali tidak ada. Ini menunjukan adanya kelemahan dari sistem pelayanan dan Tata Gereja yang diberlakukan atau tak mengalami perubahan terhadap jemaat-jemaat yang di relokasi. Melihat kondisi nyata yang ada di dalam jemaat, GPM (Sinode maupun Klasis) mesti lebih memusatkan perhatian terhadap sistem dan Tata Gereja yang ada, agar jemaat-jemaat yang berada di tempat relokasi tertata dengan baik bahkan dapat mewujudkan misi Gereja menjadi Gereja yang bersaksi dan melayani di tengah-tengah dunia. Realita yang terjadi dalam sistim dan pelayanan Gereja membuat jemaat-jemaat GPM Pulau Banda yang berada di tempat relokasi, sulit mewujudkan apa yang didambakan-dambakan oleh Gereja. Menjadi jemaat atau Gereja yang utuh sekaligus menjadi Gereja yang tetap eksis dan bertumbuh dalam iman, pengharapan dan kasih yang terwujud melalui pelayanan dan kesaksiannya. Fakta umum di atas lebih terarah pada jemaat yang selalu mengalah pada setiap keadaan, bahkan Gereja terlihat seakan-akan tak mampu untuk menjawab pergumulan-pergumulan pelayanan yang menjadi fungsinya. Menjadi pertanyaan bagi kita semua apakah Gereja atau jemaat terus menerus harus berada dalam situasi seperti ini? Di manakah peran dan tanggung jawab Gereja dalam memberitakan karya penyelamatan Allah dalam Kristus Yesus, Juruselamat?

B. Kesimpulan Penelitian
1. Pada umumnya warga jemaat GPM Pulau Banda telah mengerti dan memahami tentang arti dan makna Gereja yang sesungguhnya. Umat dalam persukutuan itu dapat saling menopang dan membantu serta bersukutu secara bersama-sama dalam aktifitas hidup setiap hari. Namun dibalik pemahaman ini, warga jemaat GPM Pulau Banda kehilangan jati diri Jemaat. Mengapa? Karena sebagai pribadi-pribadi yang telah terbentuk sebagai persukutuan, warga jemaat belum memahami apa artinya terlibat dalam setiap aktifitas pelayanan Gereja (ibadah minggu, unit, dll), mereka tak memiliki gairah beribadah. Hal ini sangat berbeda dengan ketika mereka masih berada di tempat asal mereka yang semula, (Pulau Banda). Egoisme Jemaat, dalam arti bahwa warga jemaat GPM Pulau Banda di tempat relokasi terdapat empat jemaat yang di jadikan satu, (Lonthor, Ai, Hata, Run). Yang dipimpin atau dilayani oleh satu orang pendeta, di dalamnya. Jemaat masih berpikir bahwa mereka satu jemaat dan bukan dari satu-kesatuan dari warga jemaat yang ada, meskipun telah menjadi satu saat ini. Ambil contoh : Dalam menyambut HUT GPM di tahun 2007 Jemaat-jemaat GPM Pulau Banda mengadakan pertandingan Volli Ball. Dalam pertandingan itu jemaat Lonthor dan Jemaat Run yang bertanding. Kekalahan dari jemaat lonthor membuat ke dua Jemaat ini konflik. Contoh di atas mengambarkan bahwa masih ada egoisme jemaat atau semacam spesifikasi jemaat dalam warga jemaat tersebut.
2. Pemahaman warga jemaat GPM Pulau Banda tentang sistim pelayanan Gereja sebelum dan sesudah relokasi, pada umumnya jemaat telah mengerti tentang sistim pelayanan GPM, namun dari hasil wawancara sistim pelayanan Gereja sama sekali tidak mengalami perubahan sejak awal di Pulau Banda hingga sekarang ditempat relokasi. Sebenarnya GPM dalam hal ini Sinode mempunyai sistim yang baru dan benar-benar relevan bagi jemaat ini ditempat relokasi. Misalnya : Sistim pelayanan yang mengarah pada kebutuhan jemaat dan menjadikan warga jemaat GPM Pulau Banda dapat memberdayakan diri, dapat memahami diri sebagai Gereja yang menjalankan tugas serta panggilan dan hidup dalam persukutuan yang utuh.
3. Sistim pelayanan Gereja terhadap warga jemaat GPM Pulau Banda di tempat relokasi yang sama sekali tak mengalami perubahan membuat jemaat tak berkembang. Aturan-aturan Gereja pada tingkat jemaat tak mengalami perubahan. Hanya beberapa kebutuhan mendasar yang harus di ambil sebagai kebijakan dalam beradaptasi dengan tempat relokasi atau sesuai dengan kebutuhan warga jemaat GPM Pulau Banda. Misalnya Tanggungan Pelayanan jemaat ke Sinode tidak lagi di setor melalui Klasis, tetapi di setor langsung ke Sinode, jemaat ini diatur langsung oleh sinode. Secara struktur kemasyarakatan ( Sosial ) maka jemaat ini menyesuaikan diri dengan warga jemaat yang ada di Suli Atas Ambon.
4. Sebagai Gereja dalam hal ini Sinode lebih aktif dan eksis dalam memberikan sumbangsi pikir bagi warga jemaat GPM Pulau Banda sebagai jemaat atau Gereja yang utuh dalam membangun kebersamaan dan pelayanan.
5. Sinode mesti mempunyai sistim yang baru dan benar-benar di butuhkan oleh jemaat itu sendiri dalam rangka memberdayakan diri dan hidup sebagai Gereja yang sesungguhnya.
















C. PEMAHAMAN TENTANG GEREJA
1. Konsep Gereja yang Sesungguhnya
Gereja pada hakekatnya adalah persukutuan orang-orang percaya yang Tuhan panggil dari berbagai latar belakang hidup baik asal-usul, adat dan budaya serta status sosial. Mereka dikuduskan oleh Roh Kudus, dan di pakai sebagai pembawa berita suka cita, yakni keselamatan dalam Yesus Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya yang terjadi bagi dunia maupun dalam masyarakat. Dengan misi yang khusus itu, Gereja menjadi suatu persukutuan yang eksklusif dengan Yesus Kriustus sebagai kepala-Nya dalam memenuhi misi-Nya itu, Gereja menghayati kesatuan dan kebersamaan, yang berdasar pada keberbagaian kasih karunia yang diterimanya dari Tuhan. Kesatuan dan kebersamaan tersebut di lukiskan atas rupa-rupa jalan : jemaat adalah anggota dari satu tubuh (1 Korintus. 12:12) ; anggota-anggota yang banyak itu takluk kepada satu Tuhan yang adalah kepala tubuh (Efesus. 1:22; 4:15; 5:23). Ungkapan yang paling jelas menyatakan kesatuan ini ialah tubuh Kristus. Kesatuan tubuh Kristus adalah satu kesatuan baru, satu kesatuan yang luar biasa. Sesuai hakekatnya sebagai persukutuan maka dalam Gereja setiap anggota dengan kekhasan karunia yang di milikinya berkewajiban saling menopang satu dengan yang lainnya sekaligus memuji Allah.
Gereja di sebut tubuh Kristus di mana orang dimasukan kedalamnya melalui Baptisan dan Perjamuan kudus. Di samping itu Gereja atau orang-orang kristen yang di sebut orang-orang kudus yang mempunyai hubungan erat dengan Kristus dan tugasnya adalah mengabarkan kesaksian tentang Dia. Gereja juga merupakan semua orang pilihan , Allah termasuk mereka yang sudah mati, Gereja itu bersifat Katolik dan Am sebab adalah hal yang mustahil bila ada dua atau tiga Gereja tanpa membuat Kristus terbagi (1Korintus. 1: 13). Orang-orang pilihan Allah berhubungan erat di dalam Kristus. Sehingga berada dibawah satu kepala, berpadu dan saling terkait sebagai suatu tubuh. Mereka menjadi satu oleh karena hidup bersama dalam satu iman, pengharapan, dan kasih, oleh Roh Allah yang sama. Mereka terpanggil tidak hanya untuk menerima warisan yang sama yakni hidup yang kekal, tetapi juga untuk memasuki persukutuan dengan satu Allah dan satu Kristus. Sebagai persukutuan bersaudara dengan semua anak-anak Allah, mengikuti wewenang Gereja, dan bersikap seperti domba dari satu kawanan. Orang-orang kudus di kumpulkan dalam persukutuan dengan Kristus, dengan asas bahwa semua kebaikan Allah harus mereka bagi di antara mereka. Kita percaya Gereja berarti kita yakin telah menjadi anggotanya. Demikianlah keselamatan kita bertumpu pada dasar yang tetap dan kuat. Keselamatan kita kokoh berdasarkan pemilihan Allah dan hanya dapat berubah bila oleh kemauan Allah sendiri, keselamatan itu di teguhkan karena berkaitan dengan keteguhan Kristus yang tidak membiarkan orang-orang yang percaya kepada-Nya di renggut dari padanya seperti juga tidak membiarkan angota-anggotanya di cabut.
Jemaat yang tergabung serta menjadi percaya tidak melepaskan diri dari peranan Roh Kudus yag memimpin orang-orang percaya, inilah yang di sebut dengan Gereja yang konkrit dan nampak ini mempunyai suatu segi iman. Roh Kudus yang menciptakan dan memeliharanya dan bahkan ia melayani Allah dan benar-benar hidup dan bekerja untuk keselamatan dunia ini. Gereja yang konkrit itu dan nampak di banyak tempat atau dunia ini, bukan saja kota atau desa, tetapi juga daerah atau wilayah bahkan rumah. Pada satu sisi pihak Gereja yang konkrit dan nampak itu tidak berbeda dengan persukutuan-persukutuan atau lembaga-lembaga yang lain, ia mempunyai anggota-anggota, ia mempunyai susunan-susunan tertentu, tetapi pada lain pihak ia berbeda dalam dunia, tetapi tidak berasal dari dunia (Yohanes 17 : 17), ia berasal dari dunia yang lain. Gereja yang lahiriah ialah agar umat masing-masing hidup dalam kerukunan bersaudara dengan semua anak-anak Allah, agar umat mengakui wewnang Gereja yang di berikan kepadanya atau persukutuan orang-orang kudus. Kata persukutuan banyak memberi penghiburan, maksudnya adalah sudah pasti bahwa segala sesuatu yang diberikan Tuhan kepada anggota-anggotanya dan kepada anggota-anggota kita adalah umat kepunyaan kita dan yang di hasilkan adalah bahwa harapan kita diperteguh oleh semua kekayaan itu. Untuk menganut kesatuan Gereja dengan cara demikian kita semua tidak perlu melihat Gereja itu dengan mata kita atau meraba dengan tangan kita sendiri, tetapi kita harus percaya kesatuan itu. Kita harus meyakini kalau tidak kelihatan oleh kita, begitu pula dengan iman kita tidak kurang baiknya, bila berpegang pada suatu Gereja yang tidak kita kenal. Sebab disini tidak diperintahkan supaya pandai membedakan antara mereka yang di tolak dan mereka yang di pilih, itu hanya hak Allah, tetapi kita di perintahkan yakni yakin dalam hati kita bahwa semua orang yang oleh rahmat Allah Bapa dan oleh pekerjaan Roh Kudus sudah mencapai persukutuan dengan Kristus, diperuntukan menjadi milik dan kepunyaan Allah sendiri dan bahwa kita termasuk persukutuan itu mendapat bagian dalam karunia yang begitu besar.
Dengan demikian Gereja pada hakekatnya esa. Keesan Gereja itu bersumber pada keesaan Allah Bapak, Allah Anak, dan Roh Kudus (Yohanes 17 : 21-22). Keesaan yang didasarkan pada persukutuan dan kasih. Gereja adalah keluarga dan kaum sekerja Allah yang senantiasa hidup dalam kasih, sehati, sepikir, dalam satu tujuan dengan tidak mencari kepentingan diri sendiri, namun selalu berbuat baik bagi kepentingan orang lain di mana anggota yang satu memandang anggota yang lain lebih utama dari dirinya sendiri (Filipi 2 : 1-4).

2. Bagaimana Menatalayani Gereja
Dalam menata Gereja yang bersaksi demi nama Kristus, serta menjawab tugas dan panggilan, maka Gereja mesti benar-benar merumuskan sistem dan pola pelayananya sebaik mungkin agar misi-Nya di dunia terselenggara dengan baik. Dalam hal ini GPM sebagai Gereja yang melembaga sudah saatnya menjawab semua persoalan-persoalan yang terjadi dalam jemaat, salah satunya adalah masalah relokasi jemaat. Sebagai dasar pikir Gereja maka ada dua hal penting untuk Gereja mengatur dan menatalayani jemaat-jemaat relokasi:

a. Institusional
Secara institusional GPM memiliki sebuah konsep kelembagan dan strukutur yang telah ada dalam mengatur jemaat-jemaat sesuai dengan konteks dari jemaat itu sendiri, demi menjawab masalah-masalah jemaat yang terjadi GPM mesti melihat dari segi Gereja yang historis, Gereja di panggil untuk mengorganisasikan Gereja serta mewujudkan kesatuan Gereja yang ada sebagai jemaat pengungsi. Melihat banyaknya jemaat-jemaat yang di relokasi, maka kehidupan Gereja perlu di atur dengan baik dan bahwa jabatan adalah alat yang diberikan Allah untuk mengatur kehidupan jemaat sebaik-baiknya. Gereja mempunyai peranan kunci dalam hubungan antara manusia dengan Allah sebagai sarana Firman, wewenang Gereja untuk menetapkan tata Gereja dan ketetapan-ketetapan Manusia lainnya, termasuk persukutuan-persukutuan. Tujuan dari peraturan dan ketetapan itu adalah untuk mengatur kehidupan Rohani dan Jasmani Manusia supaya tertib. Namun, yang tidak kurang penting adalah kebebasan terhadap aturan itu. Roh Kudus selaku pembaharuan Gereja tidak terikat pada aturan, karena itu harus ada peluang bahwa kemungkinan orang bisa menyimpang dari aturan-aturan itu. Atas dasar itu hal yang sangat penting yaitu :
 Gereja hanya mengatur dalam perangkat peraturannya, hal-hal yang pasti menimbulkan kekacauan merupakan aturan yang salah.
 Gereja hendaknya menjadikan Alkitab sebagai pedoman dalam mengusahakan tata Gereja-nya secara tepat dan kontekstual. Hal ini penting agar Gereja terhindar dari persilisihan teologis yang mengakibatkan perpecahan Gereja.
 Tata Gereja harus amat terbuka dan memberi kebebasan sebanyak mungkin kepada pembaharuan mutlak yang di perlukan, yang di lakukan oleh Tuhan Gereja.
 Tata Gereja harus mewujudkan satu pemahaman, tidak ada tinggi-rendahnya kepejabatan dalam tugas pelayanan yang beraneka ragam.
 Tata Gereja harus disusun dan konfrontasi dengan dunia, baik pribadi, keadaan jemaat serta ketaatan kepada kitab suci.

Dalam melaksanakan panggilan Gereja ditengah-tengah dunia, dalam hal ini seyogianya lebih menggunakan tugas pelayanan Gereja dari pada jabatan. Tugas pelayanan itu perlu di atur dalam tata Gereja untuk menghindari Gereja menjadi lembaga kepejabatan yang membagi Gereja dalam kaum rohaniawan dan kaum awam. Karena itu dalam tata Gereja perlu di atur agar dapat membuka kebebasan, pelayanan Gereja. Karena itu, Tata Gereja harus memberi ruang gerak kepada jemaat setempat melaksanakan tugas pelayanan dengan menjadi satu persukutuan yang terlatih ,untuk memilih, menilai dan melaksanakan tata (tertib) Gereja. Hal itu tidak berarti jemaat telah menjadi mandiri penuh, melainkan jemaat setempat yang tidak boleh disisihkan, serta di ikut sertakan dalam setiap pelayanan Gereja. Hal ini tidak terlepas dari dari adanya sentralisasi pimpinan seluruh Gereja yang mengatur Gereja dan jemaat-jemaat-nya, namun dalam Tata Gereja, harus terbuka pula peluang memperbesarkan kemandirian jemaat-jemaat setempat. Sekalipun demikian bukan kemandirian jemaat-jemaat atau pemimipin pusat, tetapi yang terutama penting adalah Kristus. Atas dasar itu jemaat setempat menjadi mandiri yang diatur oleh kepimpinan pusat yang bertindak dalam kehidupan jemaat-jemaat. Pemimpin dari atas maksudnya untuk membantu dan memimpin jemaat-jemaat serta pelayanan yang sedang di laksanakan demi memenuhi tugas panggilannya. Dalam rangka mencari Tata Gereja tersendiri bagi GPM, hendaknya di hindari kesimpulan bahwa terdapat kemungkinan diperolehnya bentuk-bentuk Tata Gereja yang secara radikal berbeda satu dengan yang lain, yang mencerminkan pertentangan pandangan. Atas dasar itu struktur yang sama dapat disusun Tata Gereja dengan pola yang berlainan yang sesuai dengan wujud tersendiri pelayanan kepada setiap manusia dan bangsa (suku). Dalam pelayanan Kristus tidak ada perbedaan antara hamba dan tuan, pria dan wanita, semuanya menjadi satu, terkait satu dengan yang lain. Gereja Protestan Harus tetap berbagi, Ras dan Bahasa, ini dapat menjadi bukti bahwa dimana banyak hal berbeda namun dalam Kristus menjadi satu.
Tata Gereja bermakna menciptakan pola hidup yang menyatakan bahwa Kristus memerintahkan, bahwa dialah Tuhan-Nya dan satu-satu-Nya harapan baginya, maka seharusnya tata Gereja ini pun memperlihatkan kenyataan bagi orang Yahudi, Ia suatu batu sandungan dan bagi orang-orang Yunani suatu kebodohan (1 Korintus 1 : 23). Ia bersifat demikian, karena Ia datang bukan untuk dilayani melainkan melayani. Gereja sebagai persukutuan orang-orang berdosa senantiasa terancam, maka Gereja itu perlu di pelihara. Pemeliharaan itu harus menjadi pembaharuan secara berkesinambungan, reformasi. Tata Gereja itu harus begitu rupa , sehingga menimbulkan halangan sedikit mungkin kepada pembaharuan yang perlu dilaksanakan oleh Tuhan-Nya. Karena itu Gereja hendaknya menciptakan peraturan-peraturan sesedikit mungkin. Sebab Tata Gereja menciptakan aparat manusia dan aparat manusia itu seharusnya di beri tempat yang terbatas saja dalam kehidupan Gereja.




b. Fungsional
Gereja dalam menjawab tantangan zaman serta berjalan sebagai musafir yang mewartakan kebenaran Kristus ditengah-tengah dunia, maka Gereja tidak hanya terbatas pada pola dan Tata pelayanan Gereja terhadap umat tetapi, lebih dari pada itu Gereja juga mesti melihat masalah-masalah sosial sebagai langkah yang harus di tempuh bahkan di jawab sebagai panggilan dan amanat Kristus. Secara fungsional Gereja dalam menatalayani jemaat-jemaat yang di relokasi mesti melihat atau berangkat dari konteks itu sendiri tanpa mengesampingkan efek dari pola hidup jemaat yang sesungguhnya, di mana pola hidup jemaat menjadi pergumulan hidup dari tiap-tiap pribadi secara khusus dan sebagai Gereja yang bergumul secara universal. Dalam meng-eksiskan pelayanan dalam mengatur jemaat-jemaat GPM yang di relokasi, adalah suatu tugas yang sangat penting untuk melihat kembali pola hidup jemaat, dalam hal ini jemaat-jemaat GPM Pulau Banda yang di relokasi. Gereja mesti melihat setiap segi kehidupan antara lain : ekonomi, budaya, pola hidup dll, dari tiap-tiap individu maupun menyeluruh. Tanpa melihat hal ini maka Gereja tak akan mampu berdiri sebagai Gereja yang utuh ditengah-tengah dunia.
Gereja hidup dan harus menghidupkan, Gereja harus memperhatikan segala aspek hidup yang berkembang dengan IPTEK didalamnya. Gereja harus memiliki ekspresi yang bisa di tiru dalam masyarakat. Secara literatur filosifi ekspresi dari kehidupan individual harus juga di perhatikan juga oleh Gereja. Maksudnya Gereja sebagai motifator atau juga Gereja di jadikan sebagai harapan dalam membantu masalah kehidupan individual, kelompok, masyarakat. Gereja harus melihat realita dan juga Gereja harus memberi peluang kepada masyarakat agar bagaimana masyarakat bisa bertumbuh dan berkembang secara benar berdasarkan realita yang ada. Secara familiar (terkenal) dan tidak terkenal kontrofersi dalam diri Gereja janganlah di jadikan sebagai sebuah pertukaran perubahan dunia dan juga janganlah di klaim bahwa Gereja harus menerobosi dunia apa bila Gereja itu tidak bisa hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian Gereja harus eksis dalam dunia ini. Mesti di perhatikan bahwa tradisi melekat dalam kehidupan masyarakat agar bisa memahami kebutuhan tradisi atau budaya yang tidak menyalahi ajaran Gereja dan asli ada dalam ajaran-ajaran Gereja. Secara ekonomikal, kedamaian dan ajaran kesejahteraan dan juga makna dalam teori-teori ajaran Gereja yang tidak menyalahi hukum Tuhan.
Gereja dalam arti yang sebenarnya, baik sebagai lembaga atau sebagai persukutuan umat Allah di dunia ini mempunyai fungsi pokok yakni : melayani Allah dan melayani Manusia, pelayanan ini biasanya di sebut pelayanan kembar. Kedua pelayanan ini erat berhubungan , keduanya merupakan dua muka dari satu mata uang yang sama. Melayani Allah berarti melakukan kehendak Allah dan melakukan kehendak Allah berarti berada di dunia untuk manusia. Melayani manusia berarti melayani apa yang ia butuhkan berarti melakukan apa yang Allah kehendaki. Hal yang sangat penting untuk Gereja belajar dari kesaksian-kesaksian pada masa kini, bahwa pelayanan pembangunan jemaat adalah pelayanan yang hakiki. Ia sama hakikinya dengan pelayan-pelayan jemaat yang lain, seperti pemberitaan Firman, pelayanan Sakramen, dll. Pelayanan pembangunan jemaat adalah tugas seluruh jemaat, khususnya tugas para pejabat Gerejawi. Pelayanan pembangunan jemaat juga mencakup semua anggota jemaat, baik yang tua, maupun yang muda, baik yang pria, maupun yang wanita, dll. Cara-cara dan bentuk pelayanan itu berbeda-beda, demikian pula bahan-bahannya dan tidak orang yang dilupakan atau dilampauinya. Maksud dari pelayanan jemaat-jemaat relokasi seperti ini sama halnya dalam kesaksian-kesaksian Alkitabiah, supaya anggota-anggota jemaat menjadi orang-orang yang dewasa, sehingga mereka dapat menunaikan tugas yang di percayakan kepada mereka dengan baik.



3. Menerapkan Pemahaman Gereja Yang Benar Dalam Situasi Yang Khusus
Konsep Gereja yang benar sangat berpengaruh dari waktu ke waktu dalam hidup manusia. Gereja harus mewujudkan wajahnya dari sejarah Gereja menembusi dunia melenium ini, dimana Gereja secara partikular memberikan sesuatu yang praksis yang bersifat konseptual. Secara fundamental maka perspektif Gereja haruslah esensial dan berasal dari unsur permanen yang original dari Gereja itu sendiri. Peran Gereja harus dimengerti oleh umat. Mana mungkin identitas Gereja itu bisa melekat dan hidup manusia atau masyrakat Gereja, apa bila eksistensi Gereja tersebut tidaklah mencerminkan Kristus yang tersalib, Gereja janganlah bersifat pasif tetapi aktif atau statis. Jika secara original (asli) nilai yang di berikan dari sejarah kehidupan Gereja secara terus menerus mewarnai kehidupan masyarakat dengan suatu hal yang baik atau benar. Maka Gereja menjadi Faktor kebutuhan dalam kehidupan masyarakat Gereja setiap waktu. Dalam Perjanjian Baru dogma Gereja bersifat praksis, Gereja harus bersifat secara realita, refleksi yang datang bahwa harapan Gereja yang pertama adalah Gereja harus melihat secara reel atau nyata kehidupan masyarakat, janganlah Gereja memposisikan diri sebagai penguasa, Gereja tidak boleh bersifat hirarki di mana Gereja berkuasa untuk mengatur hidup manusia. Tetapi Gereja membuka peluang dan memberi kelonggaran untuk masyarakat dapat menentukan hidupnya sendiri dan Gereja menjadi pendorong bagi umat dan Gereja juga memiliki kekuatan legal bagi kehidupan komunitasnya, Gereja menjadi kunci yang independent dalam aspek hidup umat. Di sini pemimpin Gereja harus bersikap realistik ketika pemimpin Gereja bisa memberikan kehidupan yang bermakna maka Eklesiologi akan nyata dalam kehidupan masyarakat Gereja.
Gereja tidak hanya menjadi sejarah tetapi melakukannya bersama-sama dengan dunia dan manusia. Sejarah Gereja pada hakekatnya adalah sejarah bersama kemanusiaan. Itu terlihat dari pekerjaan pelayanan Gereja itu sendiri yang bersumber dari ajran dan tradisi. Gereja harus memberikan makna pada hidup manusia, Gereja harus memperhatikan realitas hidup di mana Teologi Gereja janganlah menyudutkan masyarakat tetapi menghidupkan masyarakat. Proses ini mesti menjadi sebuah spiral dari waktu ke waktu, Gereja secara original harus memiliki posisi yang baik, Gereja juga harus memiliki fariasi dalam memberikan sebuah tema hidup. Dengan demikian Gereja mesti memiliki kepekaan terhadap kealamian kehidupan masyarakat. Gereja harus eksis dalam dunia. Faktor ini secara spesifik mendapat tempat dan nilai sejarah, Gereja mesti dipahami lewat bahasa ataupun juga perkataan. Gereja tidak harus mati tetapi hidup untuk mewarnai kehidupan. Kehidupan yang transisi secara tradisional dam budaya membaharui dengan perkembangan modernisasi, Eklesiologi harus memperlihatkan ekspresi Gereja dalam berbagai situasi, Gereja hidup memiliki program dalam kehidupan masyarakat.
Eksistensi Gereja mesti di mengerti sebagai sesuatu yang bersifat Kristus. Pesan Kristus Tuhan selalu berada dari waktu ke waktu, dengan demikian Gereja mesti menjadi mediasi antara umat dengan Tuhan. Umat dapat percaya ketika pengertian di berikan oleh Gereja bisa menembusi kehidupan umat. Secara normatif Gereja dan pesan yang di tulis dalam Perjanjian Baru, Perjanjian Lama di mana komunitas Gereja secara kompleks mencirikan aktifitas kehidupan Tuhan Allah dalam Yesus Kristus.


BAB IV
REFLEKSI TEOLOGI

Penelitian lapangan dan berdasarkan hasil analisis data tentang pemahaman warga jemaat GPM Pulau-pulau Banda tentang persukutuan atau Gereja. Pemahaman warga jemaat semakin lama semakin hilang, makin lemahnya nilai-nilai persukutuan. Padahal kalau dilihat dari nilai-nilai dasariah, maka persukutuan merupakan suatu persukutuan kumpulan orang-orang percaya, yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai kepala Gereja. Persukutuan itu dituntun oleh kuasa Roh Kudus sehingga warga jemaat menjadi nyata dalam tugas dan panngilan pelayanan. Persukutuan yang saling berbagi, mengasihi antara satu dengan yang lain. Penelitian memperlihatkan pula dampak konflik sosial yang bernuansa SARA di Maluku maupun di luar Maluku menjadi sumber kelongaran nilai-nilai persukutuan. Sehingga, warga jemaat berada dalam prinsip individualistis.
Persukutuan merupakan suatu gambaran Allah di tengah-tengah dunia, di mana persukutuan itu menjadi dasar dan yang harus menjadi warisan mutlak bagi semua orang percaya, walau tanpa di sadari makna dan nilai dari persukutuan itu telah hilang. Persukutuan itu sendiri adalah meliputi semua orang tanpa membeda-bedakan suku, budaya, adat-istiadat, bahasa, persukutuan yang saling mengasihi sebagai kemajuan hidup dan sebagai suatu ekspresi terhadap panggilan Allah.
Penyebab dari hilangnya makna persukutuan dalam tubuh warga jemaat selain dari pengalaman konflik tetapi juga minimnya pemahaman warga jemaat, tentang pentingnya persukutuan dalam kehidupan yang bersukutu dari waktu ke waktu dan di segala tempat di mana warga jemaat berada. Persukutuan merupakan karunia hidup dalam menciptakan kembali persukutuan atau Gereja setiap saat dalam segala kondisi. Perjalanan Gereja dalam menjawab panggilan pelayanan terhadap kenyataan yang di temui dalam jemaat-jemaat GPM yang di relokasi, hingga saat ini jemaat-jemaat tersebut belum terlayani secara baik, bahkan sistem pelayanan Gereja yang diterapkan tak mampu merubah keadaan jemaat secara baik. Hal ini memperlihatkan keutuhan dari Gereja yang belum memaksimalkan fungsi dan pelayanan secara optimal di tengah-tengah dunia sebagai amanat yang agung. Dalam menyikapi fungsi dan pelayanan Gereja, maka secara tidak langsung Gereja belum memaknai panggilan sebagai pelayanan yang hakiki. Hal ini sungguh sangat nyata tentang realita yang terdapat dalam jemaat-jemaat yang di relokasi khusus jemaat-jemaat GPM Pulau Banda. Gereja atau umat hanya memaknai panggilan sebagai persukutuan umat yang memuji Tuhan. Namun tak memaknai persukutuan itu sendiri sebagai Gereja yang nyata dan konkrit serta mampu merespons panggilan Allah dalam setiap keadaan yang di temui. Sebagai Gereja haruslah menjalankan semua tugas dan pelayanan secara sempurna dan menjaga kekuasaan dari Gereja itu sendiri, tanpa harus mengesampingkan Dogma yang sebenarnya terhadap umat. Gereja mampu menjawab tugas dan panggilannya secara sempurna hanya dengan Gereja benar-benar eksis dalam menjawab apa yang menjadi tugas dan pelayanannya.
Gereja bukan saja di beri mandat sebagai wakil Allah dalam memberitakan injil dan sakramen, tetapi lebih dari pada itu Gereja bertanggung jawab sepenuhnya atas penataan kehidupan umat. Hal ini menjadi pelayanan yang hakiki dari Gereja agar umat dapat menjadi persekututan yang benar-benar memaknai hidup di setiap keadaan dan pergumulan. Gereja yang utuh dan sejati adalah ketika umat hidup sabagai persukutuan yang saling mendukung, menopang, memberdayakan satu dengan yang lain, dan bukan sebagai umat atau Gereja yang mencirikan hirarki, keegoisaan dari tiap-tiap individu maupun secara universal. Hal inilah yang mesti di tekankan oleh Gereja sebagai perpanjangan tangan dari Allah dalam rangka mengahidupkan umat sekaligus merespon apa yang di kehendaki Allah bagi Gereja di tengah-tengah dunia. Allah dalam Yesus Kristus dan oleh tuntunan Roh Kudus yang telah menuntun Gereja hingga saat ini adalah bukti kasih setia Allah yang menginginkan Gereja harus tetap berkarya, membantu, menolong, mengasihi tanpa harus membeda-bedakan satu dengan yang lain, agar Gereja tetap menjadi mitra Allah.
Sebagai Gereja yang melembaga di Maluku haruslah melihat dan menggumuli masalah tersebut sebagai sebuah peluang dalam merespons panggilan Allah melalui Yesus Kristus sebagai kepala Gereja, Gereja terpanggil untuk terus menerus menghadirkan karya penyelamatan Allah. Sebagai Gereja bukanlah bagaimana menunggu dan menyerah dengan setiap permasalahan-permasalahan jemaat, tetapi menjadi Gereja yang selalu siap berkarya serta mampu memecahkan setiap persoalan yang terjadi baik secara internal maupun secara eksternal, agar jemaat-jemaat yang ter-relokasi dapat di tata-layani dengan baik, kebutuhan-kebutuhan hidup jemaat dapat terpenuhi secara menyeluruh bahkan umat dapat hidup serta membangun hidup yang mandiri dan menjadi umat atau Gereja yang berkualitas ditengah-tengan dunia. Gereja tak dapat menjawab persoalan, ketika Gereja tak memberikan ruang atau peluang bagi umat mengekspresikan hidup sesuai dengan dogma Gereja yang ideal. Gereja juga harus dapat memberi dukungan, bantuan, perbaikan, pemeliharaan bahkan terus menerus mengadakan pembaharuan secara berkesinambungan agar Gereja mampu mengungkapkan bahwa Kristus adalah harapan dari Gereja itu sendiri. Gereja yang berasal dari Tuhan harus mengerjakan apa yang di inginkan Tuhan, Tuhan memanggil umat-nya yang percaya agar umat dapat hidup dengan benar. Gereja bukan hanya sebagai lembaga institusi dalam dunia ini tetapi Gereja merupakan pusat dari pekerjaan Kristus sehingga Gereja mesti mampu memberlakukan kehidupan yang toleransi dalam berbagai bidang kehidupan. Gereja harus mencirikan Kristus yang benar dan tetap hidup dari waktu ke waktu. Dalam perjalanan Gereja yang bersikap terbuka untuk pelayanan maka hal pokok yang menjadi dasar Gereja adalah Gereja sendiri menjadi bagian yang tak dapat di pisahkan dari umat serta pergumulan-pergumulan umat menjadi tujuan utama dalam melakukan pelayanannya ditengah-tengah dunia.
Sebagai Gereja yang mempunyai pengalaman sejarah maka gereja tetap belajar dan memaknai panggilan dalam sejarah tersebut, dan kemudian Gereja memberikan pelayanan kepada umat sesuai dengan kebutuhan atau sesuai dengan pergumulan yang sedang di hadapi oleh umat. Disitulah Gereja nampak dan tidak abstrak, bahkan Gereja menjadi tempat atau taman percobaan Allah dalam melaksanakan seluruh tugas dan panggilannya. Umat yang adalah Gereja itu sendiri pun terpanggil sebagai orang-orang percaya yang dapat memberlakukan aksi dari pesan Tuhan, dalam kehidupan ber-Gereja. Dengan demikian Gereja tetap ada dan hidup sebagai Gereja yang bersekutu dan juga Gereja yang berbagi dalam pelayananya terhadap umat. Gereja menjadi Gereja yang sejati ketika Gereja setiap saat memenuhi dan memaknai panggilan dan pengutusannya untuk mengabarkan Injil ditengah-tengah dunia, perjalanan Gereja bukanlah berakhir saat Gereja mampu menjawab setiap persoalan yang muncul tetapi Gereja masih tetap berjalan sebagai Gereja yang musafir sepanjang Gereja itu ada dan tetap hidup serta menjadi bagian dari semua orang-orang percaya.
Untuk menjadikan persukutuan yang memaknai panggilan yang utuh dalam Yesus Kristus dengan tujuan saling berbagi dengan karunia-karunia mengasihi, menopang, mendoakan, maka yang di butuhkan suatu kepimpinan dalam persukutuan yang benar-benar mampu menjawab setiap persoalan yang terjadi, karena itu perlu di pakai. Dalam kepimpinan tidak selamanya bersangkut paut dengan tokoh-tokoh tertentu, tetapi berkaitan dengan masalah bagaimana mengarahkan dan membina, membuat pilihan dan mengambil keputusan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Kepimpinan yakni satu proses yang berlangsung dalam satu kelompok atau suatu transaksi sosial. Kepimpinan berhubungan dengan seluruh kegiatan suatu kelompok atau persukutuan untuk menghimpun para anggotanya menggalang kekuatan untuk mencapai tujuan bersama. Justru kepimpinan adalah milik anggota suatu persukutuan, sebab kepimpinan tiap anggota tumbuh dari proses dalam persukutuan tersebut, melalui waktu, hasil interaksi relasi dan pengalaman dalam kehidupan bersama. Dalam proses pembinaan bagi warga jemaat yang khusus, dalam penataanya memerlukan kepimpinan yang efektif untuk mencapai tujuan dan memaknai panggilan sebagai persukutuan. Setiap anggota atau warga jemaat tanpa sadar telah memiliki pemahaman persukutuan yang dapat membangun, membantu, mengasihi, mendoakan. Unsusr-unsur ini yang perlu dimiliki kuat dalam setiap warga jemaat sebagai persukutuan. Setiap warga jemaat harus dibina secara berkesinambungan untuk tetap membantu sesamanya. Sebab kepimpinan berfungsi untuk mengarahkan dan memberi motivasi kepada para anggota agar bisa bergerak bersama untuk mencapai visi yang di cita-citakan, karena itu satu prinsip dasar kepimpinan untuk melibatkan semua orang (semua anggota) dalam segala hal. Dengan melibatkan semua orang maka terjalin relasi dalam persukutuan, dan semua anggota merasa dilibatkan sehingga kepimpinan tersebut dapat mengembangkan setiap anggota sesuai dengan potensi dirinya, panggilan dan putusannya buah dari kepimpinan seperi demikian, menciptakan hubungan antar anggota persukutuan saling menerima, mengakui, dan bersedia saling berbagi, saling melengkapi dan memperkaya sehingga semuanya dapat berkembang.
Kitab Kisah Para rasul 2 : 42-47, hendaknya menyampaikan dengan baik tentang bagaimana seharusnya persukutuan muri-murid hidup. Persukutuan kristiani yang ideal dan disatukan oleh iman akan Yesus Kristus berkat Roh Kudus yang di lakukan ialah bertekun dalam pengajaran Para Rasul, giat dalam persukutuan, bersemangat dalam pelayanan satu sama lain dan sesama, serta berdoa. Persukutuan kristiani harus berkembang dalam interaksi dan relasi yang sehati sejiwa. Artinya tidak sekedar hidup bersama tapi soal bagaimana antar anggota saling mengashi. Kebersamaan orang percaya bahkan menjadi kebersamaan yang mendalam, kuat dan mahal. Umat percaya mengalami pergumulan demi pergumulan hidup sesuai dengan situasi dan kondisi yang tidak mudah dan mereka berhasil menyatakan bahwa kebersamaan hidup itu dapat dijalani. Penggunaan kata Kononia (ayat 42) dan Koinos (ayat 44) untuk menyatakan kebersamaan umat percaya adalah apa yang dimiliki umat percaya secara bersama-sama. Kata Kononia menyatakan kesediaan seseorang untuk saling berbagi dalam anggota keluarag Allah. Hidup kebersamaan antar umat percaya adalah kehidupan yang mereka saling berbagi secara langsung dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kebersamaan dalam hidup sebagai umat Allah dapat terjadi karena Yesus Kristus telah mati di kayu salib menebus manusia dari dosa dan mempersatukan mereka dalam kehidupan bersama-sama dengan umat tebusan lainnya.
Dengan demikian warga jemaat dalam praktek hidup tidak hanya terikat pada hubungan orang-orang tertentu tetapi lebih jauh melihat orang lain. Perbuatan kasih nyata dalam persukutuan itu tidak hanya berkumpul beribadah dan berbicara tentang permasalahan yang terjadi, tetapi juga ada kenyataan yang diterima bahwa warga jemaat di berikan tanggung jawab untuk membantu sesama. Dengan berbagai pengertian tersebut maka warga jemaat dalam pelaksanaan setiap hari sudah harus berbenah diri melihat keadaan persukutuan kasih yang nyata dalam Kristus. Persukutuan merupakan kasih Allah dalam membangun dan menghimpun warga jemaat sebagai umat kepunyaan Allah. Sehingga perkembangan persukutuan menjadi alat dalam menjalankan panggilan dan pelayanan.
Dari kenyataan yang terlihat belum adanya perhatian yang cukup terhadap nilai-nilai persukutuan, sehingga membuat warga jemaat belum memahami benar tentang persukutuan. Perlu adanya peran Gereja dalam membimbing dan mengarahkan warga jemaat agar dapat memahami sampai sejauh mana makna dan nilai dari persukutuan, turut berperan dalam membantu mengatasi permaslahan yang terjadi. Keikut sertaan Gereja dalam usaha menjalankan panggilan untuk kepentingan warga jemaat dan Gereja perlu adanya arahan-arahan yang menyentuh dan kembali mengangkat hasrat serta kemauan warga jemaat dalam melibatkan diri sebagai persukutuan dalam berbagai aspek. Allah dalam Alkitab menyuarakan seruan kepedulian terhadap sesama, sebab dalam kebersamaan warga jemaat atau Gereja saling menopang akan terciptanya persukutuan hidup yang berlandaskan kasih Allah telah mengikat manusia dalam dengan-Nya melalui Kristus.
Dengan demikian manusia harus mewujudkan persukutuan itu dengan sesama dalam hidup setiap hari. Persukutuan yang bukan hanya bersaksi tetapi juga saling melayani dalam berbagai relitas hidup. Dalam menerapkan persukutuan yang ideal atau seperti yang di gambarkan di atas, maka tipe hidup warga jemaat yang tidak hidup dalam persukutuan serta memikirkan diri senidiri, dalam persukutuan tidak akan nampak dalam warga jemaat-jemaat GPM Pulau Banda. Sadar atau tidak sadar warga jemaat GPM berada dalam konteks kemajemukan baik dari latar belakang kehidupan, suku, budaya, bahasa. Kemajemukan itu mempunyai nilai-nilai atas gagasan yang sama. Nilai atau gagasan itu aalah solidaritas, kebersamaan, pesaudaraan, saling menghormati, menolong, mengharagai, dll sebagai persukutuan yang Allah bentuk dan pakai.

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Setelah merangkai uraian pada Bab I-IV maka mengakhiri tulisan ini, penulis meyampaikan beberapa kesimpulan dan saran, sebagi beriukut :
1. Gereja adalah persukutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai kepala Gereja, di mana persukutuan itu terdiri dari berbagai latar belakang hidup, suku, adat-istiadat, budaya dan bahasa yang dituntun oleh peranan Roh Kudus, sehingga Gereja menjadi nyata dan Gereja berada disegala tempat, di segala zaman dan berubah-ubah sesuai dengan perkembangan wraga jemaat, serta terus berjalan sebagai Gereja musafir yang mempunyai tugas dan panggilannya di tengah-tengah dunia. Gereja adalah persukutuan yang utuh dan dalam persekutuan itu umat saling menopang, mendukung, mendoakan, mengasihi satu dengan yang lain.
2. Dalam menatalayani umat Gereja harus melihat pada institusi dan fungsi dari pada Gereja itu sendiri. Secara fungsional Gereja mangatur serta memberikan pembinaan yang maksimal bagi warga jemaat baik secara individu maupun secara universal sesuai dengan konteks hidup warga jemaat. Proses pembinaan di butuhkan oleh karena warga jemaat mempunyai traumatik yang harus disembuhkan. Warga jemaat membutuhkan penyembuhan agar dapat menatalayani hidup sebagai persukutuan. Gereja dapat mengorganisir Gereja demi mewujudkan kesatuan umat, di samping itu Gereja menjalankan fungsinya bukan saja Reiligius tetapai juga Gereja melakukan pelayanan yang bersifat sosial (ekonomi, pemberdayaan, lingkungan hidup, dll).
3. Melihat warga jemaat yang terelokasi dan belum dilayani secara baik maka dalam memaksimalkan fungsi dan sistem pelayanan Gereja, seyogianya menghindari konsep kepejabatan Gereja, yang birokratis, tetapi lebih mengimplementasikan fungsi kepejabatan yang mampu melayani dan mengorganisir sistem pelayanan kepada Warga jemaat yang direlokasi, sehingga warga jemaat hidup dan teratur sebagai persukutuan yang bersaksi dan melayani.
4. Dalam kaitan itu optimalisasi orientasi pelayananya yang bersifat sosial, merupakan suatu keharusan, keniscayaan. Hal ini memungkinkan GPM untuk tanggap dalam berbagai situasi yang cenderung berubah dan berkembang di tengah warga jemaat. Komitmen dasar yaitu melayani harus dipertegas bukan saja dalam diskusi dan mencari solusi tetapi membutuhkan tindakan nyata dari setiap solusi yang lahir dari pemikiran demi pengembangan GPM ke depan.

Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, adapun beberapa saran yang penulis sampaikan agar dapat membantu membangun pelayanan GPM ke depan :
1. Gereja dalam hal ini, perangkat pelayan Sinode maupun Klasis yang di percayakan oleh Allah untuk melayani harus lebih memfokuskan pelayanan yang kontekstual bagi jemaat-jemaat yang di relokasi. Maksudnya, pendampingan guna mengatasi dan memudahkan warga jemaat menjadi lebih tentram bahkan memenuhi kebutuhan dasar mereka. Hal ini dikarenakan jemaat-jemaat tersebut memerlukan penyesuaian di tempat mereka yang baru.
2. BPH Sinode bahkan BPH pelayanan Klasis dan majelis jemaat, mengubah tata cara pelayanan yang di terapkan pada jemaat yang umum, serta seyogianya ada musyawarah mencari cara dan bentuk pelayanan yang bersifat khusus bagi jemaat-jemaat sesuai dengan kondisi mereka yang baru.
3. BPH Sinode GPM bahkan badan pelayanan Klasis GPM Ambon, harus menjadi motifator dalam memberdayakan umat, agar umat tetap dapat bertahan hidup di tempat relokasi.
4. Adalah tepat apa bila jemaat-jemaat GPM asal Klasis Pulau-pulau Banda tersebut, yang kini di relokasi, menjadi jemaat khusus serta mendapat pelayanan yang khusus pula. Tergantung perkembangan di kemudian hari, apakah mereka di sejajarkan dengan sebuah Klasis atau tetap sebagai jemaat khusus, dengan tata pelayanan, serta aturan-aturan dan perlakuan khusus pula.

Herman Pemimpin dan Dipimpin


MEMIMPIN DAN DIPIMPIN
SEBAGAI ASPEK PENGINJILAN
(Carl Herman Saptenno)
Ketua Angkatan 2003 Filsafat UKIM

ORGANISASI dalam Lembaga, kemasyarakatan, gereja, dan bahkan dalam pemerintahan atau lembaga apapun bentuknya dalam sebuah institusi sangat membutuhkan faktor kepemimpinan. Sebenarnya Memimpin dan dipimpin telah menjadi 2 aspek yang tak terpisahkan dan selalu menjadi sub ordinat dari kepemimpinan tersebut. sebab jika tidak, dalam Memimpin tanpa ada yang dipimpin jelas menjadi omong kosong dan hanya berupa mimpi yang tak nyata. Sebaliknya anggota yang dipimpin tetapi tidak ada yang memimpin maka hanya akan menimbulkan anarki atau berjalan tanpa arah. Dari ulasan singkat ini maka Timbul pertanyaan bagi kita Apakah kepemimpinan itu bakat yang dibawa sejak lahir (Anugerah, talenta, bakat) atau memimpin diciptakan melalui proses pembelajaran? Hal ini terus akan menjadi Perdebatan bahwa seorang pemimpin harus diciptakan melalui proses pembelajaran dan pelatihan.
Sebenarnya tidaklah mudah menjadi seorang pemimpin. Perlu banyak sekali pengorbanan yang dilakukan. Harus sabar menghadapi berbagai halangan melintang. Tenang dalam menyelesaikan masalah-masalah. Bijak dalam berkata-kata.mampu membagi tugas-tugas kepada yang dipimpin, serta dicintai oleh yang dipimpinnya. Bagi Orang yang tidak pernah atau jarang untuk maju sebagai pemimpin, akan terasa sulit dan sangat butuh banyak belajar tentang kepemimpinan. Belajar dari pemimpin-pemimpin sukses yang memiliki wibawa dan integritas. Sama halnya dengan menjadi seorang yang dipimpin. Ketaatan kepada pemimpin menjadi nomor 1. Bagaimana ikut mendukung yang direncanakan oleh pemimpin, bagaimana ikut mensukseskan hal-hal yang baik. Kesulitannya adalah ketika satu hal tidak sesuai dengan hati, maka yang dipimpin merasa enggan untuk bergerak dan menjadi malas. Bagi orang-orang yang sudah biasa memegang tampuk kepemimpinan, juga akan terasa sulit. Obsesi pemimpin yang terlalu kuat, bisa jadi menampilkan nafsu diri, walaupun memiliki mimpi yang baik, cara yang baik, dan tujuan yang baik. Bagi orang yang terbiasa menjadi orang yang dipimpin akan merasa dirinya biasa-biasa saja, tidak punya peran, mungkin menganggap dirinya tidak penting.
Kita harus banyak belajar tentang kepemimpinan, baik memimpin maupun dipimpin.
Untuk itu makna memimpin memiliki pengertian yaitu seseorang atau sekelompok orang yang membawahi orang per orang atau kelompok orang untuk menjalankan aktivitas perkumpulan atau organisasi guna mencapai tujuan dan maksud dari perkumpulan atau organisasi tersebut. Dalam menjalankan proses memimpin sangat di butuhkan dasar kesepakatan bersama yang bersifat koluktifitas organisasi ataupun aturan mainnya sehingga dapat berjalan secara terukur dan terarah menurut tujuan dimaksud. Sebaliknya demikian pula dengan pengertian dipimpin, yaitu kelompok orang yang dipimpin oleh pemimpin guna terwujudnya tujuan organisasi secara bersama.
Terkait dengan itu teori kepemimpinan dikenal yang namanya moralitas organisasi. Yaitu kepemimpinan yang berorientasikan terhadap kesatuan pikiran, hati dan tujuan bersama dalam mencapai kesepakatan bersama. Apalagi kondisi masyarakat dan bahkan gereja yang tidak begitu statis dalam pembelajaran kepemimpinan yang merata.
Proses Kepemimpinan yang efektif (effective leadership) harus terealisasi pada saat seorang pemimpin dengan momentnya mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan demi kemajuan organisasi kedepan. Maka dalam kepemimpinan yang efektif, dan bertanggungjawab inilah harus adanya sinergis antara pemimpin dengan yang dipimpin. Terkait dengan itu maka seorang pemimpin harus memiliki jiwa leadership. Dalam artian pemimpin yang memiliki ketrampilan dalam mengolah program dan kebijakan-kebijakan dan mampu melakukan kombinasi dan improvisasi dalam menggunakan moment kepemimpinannya untuk dapat mempengaruhi perilaku anggota dalam berbagai situasi.
Seberat apapun tugas kita sebagai pemimpin, baik terlepas dari oganisasi formal - non formalnya atau skala besar - kecilnya, maka yang perlu kita lakukan adalah menciptakan persiapan sempurna menjelang peluang menjadi pemimpin yang akan datang. Persiapan adalah bagian dari solusi mental sebelum solusi konkrit harus kita lakukan. Bahkan seringkali peluang apapun baru bisa kita dapatkan setelah kita memiliki persiapan mental yang layak untuk menerimanya. Sayangnya bagi sebagian besar warga gereja ini justru mengejar peluang menjadi pemimpin sementara tanpa mempersiapkan mental sebagai pemimpin.
Menyangkut masalah persiapan maka pilihan sepenuhnya berada di bawah kontrol kita yang ingin menjadi pemimpin; apakah kita mempersiapkan diri sebagai pemimpin atau sama sekali tidak mempersiapkannya. Moment tersebut akan menjemput kita dan konsekuensinya tergantung dari pilihan yang kita ciptakan. Karena kepemimpinan yang hidup adalah achievement, bukan gift, maka yang perlu kita persiapkan adalah melakukan perbaikan kepemimpinan dari dalam diri kita.
Terkait dengan itu maka jika kita ingin menjadi pemimpin yang sukses dalam kepemimpinan kita. Maka seharusnya kita awali dengan kesiapan untuk mau dipimpin dalam organisasi.
Sebelum kita memimpin orang lain, maka wujud dari kesiapan untuk dipimpin adalah begaimana memimpin diri kita (Personal Mastery). Wilayah yang harus kita kuasai adalah self understanding (pemahaman diri) dan self management (pengelolaan diri) yang meliputi perangkat nilai hidup, tujuan hidup, misi hidup kita. Kedua kemampuan tersebut akan mengantarkan kita menuju pola kehidupan beradab dan efektif. Dengan kata lain, self understanding dan self management pada saat kita dipimpin akan menciptakan tradisi hidup sehat di mana fokus adalah tujuan akhir, bukan lagi egoisme posisi jangka pendek tetapi realisasi misi. Jika tujuan akhir kita adalah kemajuan, kebahagian dan kesuksesan kita sebagai pemimpin yang bijak dan trampil dalam mengolah sebuah kebijakan demi yang kita pimpin.
Sebutan pemimpin terlepas dari perbedaan definisi, perbedaan status formal dan non-formal, perbedaan strata atau job title-nya. Sebab hal ini mengarah pada satu pemahaman sebagai sumber solusi suatu urusan. Jadi pemimpin adalah orang yang isi pikirannya berupa solusi bukan masalah, Memiliki syarat mutlak yang bersifat fundamental dalam artian Ia memiliki paket keahlian dan paket kekuatan. Paket keahlian merujuk pada kualitas personal yang sifatnya internal mulai dari skill, knowledge, attitude, atau lainnya. sedangkan paket kekuatan merujuk pada power yang bisa berbentuk kekayaan, networking, atau mungkin kekuatan fisik.
Dari uraian diatas maka menjadi seorang pemimpin seharusnya mampu menciptakan keadilan yang merata, keselamatan yang setara, kehidupan yang sejahtera, bagi kebahagiaan orang lain. Maka hal utama yang di inginkan oleh Yesus Kristus dalam hidup kita telah kita lakukan yaitu membritakan kabar baik (penginjilan) dalam kepemimpinan kita selaku pemimpin.


MUNGKIN ANDA ADALAH SALAH SATU YANG SAYA MAKSUD

“SEBUAH PROSES ADALAH AWAL KEPEMIMPINAN”